Di Kebumen, ketika Pilgub lalu pasangan Ganjar-Yasin yang diusung oleh PDIP dan koalisinya hanya mendapatkan 44,44 persen suara sedangkan lawannya Sudirman Said-Ida Fauziyah yang diusung partai Gerindra beserta koalisinya berhasil menggungguli dengan perolehan 55,56 persen suara.
Namun dalam Pilpres, pasangan Jokowi-Ma'ruf yang diusung PDIP dan koalisi mendapat keunggulan dengan 545.742 suara sedangkan Prabowo-Sandi yang diusung Gerindra mendapatkan 209.010 suara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi politik nasional tidak simetris dengan politik lokal. Saat Pilgub, Kebumen kenapa Ganjar kalah bukan karena Ganjar-nya dan PDIP, tapi NU dan PKB," kata Teguh kepada detikcom, Selasa (7/5/2019).
Ida Fauziyah yang merupakan kader PKB maju mendampingi Sudirman Said saat pilgub dan mampu mendulang suara. Kemudian ketika Pilpres, PKB merapat ke Jokowi dan hal itu berpengaruh pada perolehan suara.
"Jadi memang beda situasi dan konteks. Jokowi di Kebumen dapat dukungan kuat karena figure yang dicari sederhana dan merakyat," jelasnya.
Hal serupa juga terjadi di kampung halaman Sudirman Said yaitu Kabupaten Brebes. Pada Pilgub, pasangan Sudirman-Ida saat itu mendapat 497.170 suara dan, Ganjar Yasin 324.997 suara.
Namun Sudirman Said dipastikan tidak melenggang ke Senayan karena di Dapil Jateng IX, mantan menteri ESDM itu hanya mendapat 81.810 suara.
Teguh menjelaskan, keunggulan Sudirman saat Pilgub karena ada kedekatan dan faktor kebanggaan sebagai putra daerah.
"Dulu suaranya besar karena ada faktor kebanggaan sebagai putera daerah. Sekarang beda konteks, beda waktu, beda suasana. Yang besar di Pilgub tidak jaminan lolos Pileg," jelasnya.
Selain itu selama proses kampanye, Sudirman Said tampak lebih fokus dalam pemenangan Prabowo-Sandi. Menurut Teguh, Sudirman tidak fokus pada Pileg dan lebih giat bergerak saat Pilgub.
"Felling saya tidak serius (ke Pileg) karena fokus ke pilpres. Dulu Pilgub giat sekali ke masyarakat," pungkasnya. (alg/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini