Ambang batas parlemen ditetapkan 4% sebagaimana diatur dalam Pasal 414 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Batas suara ini telah diadopsi sejak UU Nomor 10 Tahun 2008 dan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Legislatif. Sedikit perbedaan, ambang batas parlemen dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 sebesar 2,5% suara sah nasional, kemudian naik menjadi 3,5% dalam UU Nomor 8 Tahun 2012, dan teranyar meningkat lagi menjadi 4% dalam UU Nomor 7 Tahun 2017.
Mengapa ambang batas parlemen kian meningkat pada periode-periode pemilu sepuluh tahun ke belakang? Apakah pembatasan itu adil bagi partai politik yang baru berkembang?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari 2009-2014, MK menerima empat kali permohonan judicial review tentang ambang batas parlemen. Termutakhir pada 2018, Partai Garuda melakukan hal serupa. Sayang, semuanya mental karena hakim konstitusi menilai bahwa ambang batas parlemen merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembuat undang-undang. Artinya, mau diadakan ataupun ditiadakan --ambang batas parlemen tetaplah konstitusional.
Berapa sebenarnya jumlah partai yang tepat untuk mengisi kursi parlemen Indonesia? Sulit untuk mencari ukuran yang pas. Apalagi perkembangan praktik perpolitikan Indonesia terkini tidak memunculkan partai politik yang ideologis.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyebut, banyaknya partai politik yang mengisi kursi anggota dewan akan menyulitkan dalam gerak parlemen, karena begitu banyak perbedaan yang harus dinegosiasikan terlebih dulu sebelum tiba pada pengambilan keputusan. Dalam tulisannya di kolom pakar Media Indonesia (6 Februari 2017), Refly membuat perhinggaan atas banyaknya parpol yang menyulitkan gerak parlemen itu di angka belasan.
Tetapi, logika penyederhanaan partai politik di parlemen menjadi tidak istikamah jika diperhatikan di tingkat daerah. Dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 ditetapkan bahwa ambang batas parlemen sebesar 3.5% --berlaku nasional untuk semua kursi anggota DPR dan DPRD. Pasca digugat oleh 14 partai politik, MK kemudian menetapkan ambang batas 3.5% tersebut hanya berlaku untuk DPR dan ditiadakan bagi DPRD. Jika banyaknya partai politik dapat menyulitkan dalam gerak parlemen, mengapa pada tingkat legislatif di daerah hal itu tidak diterapkan juga? Bukankah "politik dagang sapi" sama potensialnya antara parlemen pusat dan daerah.
Namun setidaknya, dari beberapa hal yang meragukan, hadirnya ambang batas parlemen dalam UU Pemilu dapat menjadi perangsang partai politik untuk merawat sumber suara mereka --menjaga kepercayaan konstituen, memperkuat organisasi kelembagaan, dan menjauhkan praktik-praktik instan dalam membangun basis politik.
Pada kenyataannya, tidak semua partai baru kesulitan dalam memenuhi batas syarat menduduki kursi di parlemen tersebut. Gerindra dan Hanura sebagai partai baru di Pemilihan Umum Anggota Legislatif 2009 mampu melampaui ambang batas parlemen yang berlaku saat itu. Begitu juga yang terjadi dengan Nasdem sebagai partai baru di Pemilihan Umum Anggota Legislatif 2014.
Sebaliknya, Partai Bulan Bintang yang pada Pemilihan Umum Anggota Legislatif 2004 masih memiliki 11 kursi di DPR atau setara 2.62% suara nasional --namun tidak mampu bertahan di Pemilihan Umum Anggota Legislatif 2009. Bahkan mereka kian tenggelam di Pemilu 2019. Sedang Hanura, partai baru yang pada tahun 2009 mampu meraup suara melebihi ambang batas parlemen dan bertahan hingga 2014, walhasil merosot pada 2019 ini.
Sebagai kebijakan hukum terbuka, ambang batas parlemen tidak diterapkan di Indonesia belaka. Dalam sistem hukum di negara lain, ambang batas parlemen juga berlaku dalam skala yang hampir sama. Italia memakai 4% ambang batas, Rusia 7%, Spanyol 3%, Belanda 0.67%, Turki 10%, Swedia 4% untuk suara nasional dan 12% untuk tingkat distrik.
Secara konstitusional, UUD 1945 menentukan bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan untuk berserikat dan berkumpul (Pasal 28E). Ambang batas parlemen tidak membatasi setiap warga negara mengejawantahkan haknya untuk berserikat dan berkumpul dengan membentuk partai politik. Setiap partai politik dapat menjadi peserta pemilu bila memenuhi dokumen persyaratan yang diverifikasi.
Perlakuan ini sama untuk semua partai politik. Partai politik yang tidak mencukupi ambang batas parlemen pun tidak diminta untuk membubarkan diri.
Tri Wahyuni peneliti di Institute for Population and National Security
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini