"Hal-hal yang tak terpikirkan dari pelaksanaan pemilu di luar negeri yang kemudian tidak sampai diatur secara detail gitu ya di pengaturan-pengaturan kita. Misalnya soal syarat memilih, itu kan pasti ini apa pengecualian. DPT itu tidak semudah kita membuat atau mendatanya di dalam negeri," ujar komisioner Bawaslu Mochammad Afifuddin dalam diskusi 'Tantangan Pemilu RI 2019 di Luar Negeri' di gedung Bawaslu, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (29/4/2019).
![]() |
Afif mengatakan kebanyakan WNI di luar negeri yang bekerja sebagai buruh migran atau pekerja domestik tidak dapat menunjukkan paspornya karena ditahan majikan masing-masing. Sementara untuk mendata DPT, Bawaslu memerlukan paspor dari tiap WNI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Katakanlah karyawannya itu untuk kemudian minta dikeluarkan dan bisa didata, dan ini terjadi di banyak negara Timur Tengah, di Asia saya kira juga demikian," lanjut Afif.
![]() |
Selain itu, sulitnya menentukan DPT terjadi karena jumlah mahasiswa asal Indonesia yang berpindah. Afif mencontohkan seperti di London, yang awalnya memiliki DPT sekitar 3.000, namun berubah setelah dilakukan pengecekan.
"Sebelumnya, di London, misalnya, dalam data yang kita terima sebagai data awal dari teman-teman dukcapil, itu kurang dari 5.000, malah cuma 3.000. Setelah kita cek, malah datanya bertambah besar jadi sekitar 7.000. Katanya ini dampak dari banyaknya mahasiswa yang kemudian lebih memilih sekolah di Inggris begitu," katanya.
Simak Juga 'Update Real Count Pilpres 2019!':
(eva/jbr)