LPSK Terima Info 2 Anak Korban Pemerkosaan di Bogor Di-bully di Sekolah

LPSK Terima Info 2 Anak Korban Pemerkosaan di Bogor Di-bully di Sekolah

Jabbar Ramdhani - detikNews
Sabtu, 27 Apr 2019 11:09 WIB
Ilustrasi (Zaki Alfarabi/detikcom)
Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terus memantau kasus dua anak yang jadi korban pemerkosaan di Bogor, Jawa Barat. LPSK mendapat kabar kedua korban malah di-bully di sekolah dan lingkungannya.

"Informasi yang saya dapat bahwa ada perbedaan kelas sosial ekonomi. Yang satu lebih terpandang dan berada, sedangkan korban pas-pasan. Hal itu mempengaruhi persepsi masyarakat. Biasanya memang siapa korban, siapa pelaku, itu mempengaruhi," kata Wakil Ketua LPSK Livia Istania DF Iskandar saat dihubungi, Sabtu (27/4/2019).


Menurutnya, dalam kasus kekerasan seksual, kerap terjadi perundungan (bullying). Korban kekerasan seksual, sambung Livia, malah kemudian jadi makin tersudutkan saat berhadapan dengan pelaku yang punya status sosial lebih tinggi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

LPSK akan segera bergerak agar mental korban tidak semakin tertekan jika benar terjadi perundungan. LPSK ingin memastikan korban mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.


"Sepertinya harus ada upaya penyelamatan. Karena jangan sampai mereka di-bully warga dan lingkungan sekitar dan orang yang tidak paham. Karena kadang kan masih ada masyarakat kan victim blaming, menyalahkan korban," tuturnya.

"Jangan sampai ini kan anak-anak jalannya masih panjang, jangan sampai mereka jadi korban di sekolahnya, di komunitasnya, karena masa depannya masih panjang," imbuh Livia.

Sebelumnya diberitakan, Pengadilan Negeri (PN) Cibinong membebaskan HI (41) dari tuntutan 14 tahun penjara. Di mana jaksa menuntut HI selama 14 tahun penjara karena memperkosa dua anak tetangganya yang berusia 14 dan 7 tahun.


Dalam kasus ini, jaksa meyakini HI melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, jika di antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut terhadap anak.

Namun tuntutan 14 tahun penjara itu diabaikan majelis hakim, yang terdiri dari Muhammad Ali Askandar, Chandra Gautama, serta Raden Ayu Rizkiyati.

LBH Apik selaku pendamping korban menilai proses sidang itu belum sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Hakim juga dinilai kurang cermat dalam menggali fakta persidangan dimana korban merupakan anak adalah pihak yang harus dilindungi dan memiliki posisi yang rentan.


Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun menyurati Mahkamah Agung (MA) terkait vonis ini. KPAI harap MA juga mengabulkan permohonan kasasi jaksa penuntut umum.

"Maka KPAI menulis surat kemarin ke MA, yang intinya, pertama meninjau kembali vonis bebas terhadap terdakwa kemarin. Kedua, kita minta MA meninjau ulang atau melihat permohonan kasasi dari kejaksaan, jadi kejaksaan sudah form permohonan untuk kasasi ke MA," ujar Komisioner KPAI, Putu Elvina, saat dihubungi detikcom, Jumat (26/4). (jbr/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads