"Tidak ada nomor urut, yang ada adalah cap jempol di amplop tersebut," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (2/4/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun KPK meminta agar proses hukum ini tidak dikaitkan dengan isu politik. Terlebih saat ini suasana politik sedang menghangat dalam suasana Pemilu 2019.
"Kalau dugaan keterkaitan dan dugaan penggunaannya amplop-amplop tersebut diduga akan digunakan untuk serangan fajar, untuk kepentingan pemilu legislatif, khususnya pencalegan BSP (Bowo Sidik Pangarso) di Dapil II Jawa Tengah," kata Febri.
"Dan kami harap proses ini dilihat semua pihak secara independen sebagaimana proses hukum yang diatur di hukum acara yang berlaku. Jadi KPK meminta semua pihak untuk tidak mengait-ngaitkan KPK dengan isu politik praktis karena yang dilakukan adalah penegakan hukum," imbuhnya.
Dalam perkara ini, Bowo ditetapkan KPK sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari Marketing Manager PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) Asty Winasti lewat orang kepercayaannya bernama Indung. Ketiga orang itu telah ditetapkan menjadi tersangka.
Bowo diduga menerima suap untuk membantu PT HTK kembali mendapat perjanjian penggunaan kapal-kapalnya untuk distribusi pupuk dari PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog). Bowo pun meminta imbalan sebesar USD 2 per metrik ton.
KPK menduga Bowo sudah menerima 7 kali suap dari Asty dengan total duit sekitar Rp 1,6 miliar. Jumlah itu terdiri dari Rp 89,4 juta yang diterima Bowo melalui Indung saat OTT dan 6 penerimaan sebelumnya yang disebut KPK sebesar Rp 221 juta dan USD 85.130. Selain penerimaan uang dari Asty terkait distribusi pupuk itu, KPK menduga Bowo menerima gratifikasi dari pihak lain senilai Rp 6,5 miliar.
(dhn/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini