"Menurut saya, yang harus dilihat tindak pidananya, jangan sampai fokus publik dan media pada konteks poliandrinya. Kemudian menjadi kembali menempatkan bahwa seolah-olah kalau orang perempuan melakukan tindak kejahatan penipuan dengan modus poliandri sudah jadi tidak kejahatan yang besar. Nah itu, itu menurut saya harus dilihat sebagai tindak pidana penipuan tidak kemudian menggunakan isu poliandri untuk mendiskreditkan perempuan," kata Komisioner Komnas Perempuan, Indri Suparno, saat dihubungi detikcom, Kamis (28/3/2019).
Menurutnya, kasus ini sama dengan kasus penipuan-penipuan yang lain, namun kebetulan Ayu menggunakan modus poliandri untuk melancarkan aksinya. Untuk itu, ia mengatakan, Ayu harus diproses seusai dengan aturan yang berlaku mengenai tindak pidana penipuan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebab, menurut Indri, sejauh ini belum ada UU yang mengatur poliandri sebagai tindak pidana. Karena itu, Pasal 378 KUHP tentang tindak pidana penipuan yang disangkakan ke Ayu dinilai sudah tepat.
"Pada prinsipnya karena tidak ada aturan yang mengatur poliandri. Karena dalam jerat pasal yang digunakan penyidik kan pasal penipuan, ini tindak pidana penipuan, ini sudah tepat polisi melakukan itu dan yang harus dilihat adalah soal hak anak, mereka harus tidak telantar dengan kasus ini," ucapnya.
"Maka secara hukum, yang bisa dipidana adalah tentang pemalsuan identitas atau penipuannya, karena tidak ada yang mengatur pidana poliandri maupun poligami," sambungnya.
Baca juga: Pilu Suami Dipoliandri Ayu yang Menipu |
Sebelumnya diberitakan, Ayu memeras suami keduanya, I Gede Arya Sudarsana, miliaran rupiah. Sebelum menikahi Arya, Ayu sudah menikahi seorang polisi di Ngawi berinisial Y (38).
Dari pernikahan pertama yang berlangsung sejak 2004, Ayu dikaruniai 3 anak. Namun, pada 2016, Ayu main serong dan mengaku-ngaku sebagai wanita single saat bertemu dengan Arya hingga akhirnya Ayu menikahi Arya.
Tipu muslihat Ayu kemudian terungkap sebagaimana dirangkum dari berkas dakwaan yang dilansir Pengadilan Negeri (PN) Negara, Bali, pada Selasa 26 Maret 2019.
"Menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana 'barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang' sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 378 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangkan selama terdakwa dalam tahanan," tuntut jaksa.
Yakin Selingkuh Itu Indah? Ini Kata Psikolog:
(ibh/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini