Hal itu diungkapkan kuasa hukum Wahid Husen dalam sidang beragenda pembacaan nota pembelaan atau pleidoi yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Rabu (20/3/2019). Dalam pleidoinya, kuasa hukum menilai Wahid tidak terbukti menerima suap dari Fahmi Darmawansyah.
Wahid telah dituntut jaksa KPK dengan hukuman 9 tahun penjara dan denda Rp 400 juta. Jaksa KPK menyatakan Wahid terbukti melakukan tindak pidana korupsi menerima suap dari suami Inneke Koesherawati itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Maka untuk itu kami meminta kepada majelis hakim yang terhormat agar sudi kiranya menyatakan terdakwa bebas dari segala tuntutan hukum atau setidak-tidaknya lepas dari segala tuntutan hukum," ujar Firma menambahkan.
Pengacara menguraikan faktor-faktor yang menyatakan Wahid tidak terlibat. Berdasarkan fakta persidangan, kata Firma, mobil double cabin yang diberikan Fahmi kepada Wahid bukan atas permintaan Wahid. Menurutnya, mobil tersebut diberikan atas inisiatif dari Andri Rahmat (terdakwa/tahanan pendamping Fahmi) yang kemudian dilaporkan ke Fahmi dan diberikan mobil tersebut kepada Wahid.
"Itu (pemberian) merupakan inisiatif dari saksi Andri Rahmat dan saudara saksi Fahmi Darmawansyah dikarenakan menurut saksi Fahmi Darmawansyah terdakwa orang yang baik. Pemberian tersebut tidak ada hubungannya dengan jabatan terdakwa sebagai Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung," kata Firma.
Masih terkait mobil, Firma menjelaskan bahwa mobil tersebut juga bukan atas nama Wahid Husen. Mobil yang diberikan BPKB-nya masih atas nama Deni Marchtin Boedhyarta Oeoen yang merupakan adik ipar Fahmi.
"Sehingga dapat dikategorikan sebagai pemberian pinjam pakai sementara, karena terdakwa tidak ada hak untuk memiliki mobil tersebut secara mutlak dan sewaktu-waktu dapat diambil kembali oleh saudara Fahmi setiap saat, setelah Fahmi bebas dari penjara," tuturnya.
Selain masalah mobil, pengacara juga menyampaikan terkait fasilitas saung. Menurut Firma, fasilitas saung sudah ada sebelum Wahid menjabat sebagai Kalapas.
"Sejak terdakwa sebagai Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin hanya ada 1 (satu) penambahan fasilitas saung untuk warga binaan narapidana korupsi atas nama Setya Novanto. Hal ini membuktikan Terdakwa berupaya semaksimal mungkin untuk menekan penambahan saung, meskipun menghadapi tekanan dari para narapidana korupsi," kata Firma.
Begitu juga soal jual-beli kamar. Menurut Firma, praktik itu sudah berlangsung sebelum Wahid Husen menjabat. "Mengenai transaksi jual beli kamar tahanan telah terjadi pada periode tiga orang Kalapas Sukamiskin sebelum dijabat oleh terdakwa. Transaksi jual beli kamar tersebut terjadi secara langsung antara narapidana yang akan bebas dengan narapidana yang akan menghuni tanpa campur tangan Kalapas," katanya.
Perihal pemberian izin keluar Lapas Sukamiskin, baik izin berobat mau pun izin luar biasa menjenguk keluarga, Firma menjelaskan apa yang dilakukan oleh Wahid sesuai dengan UU yang berlaku.
"Itu bukan fasilitas, melainkan kewajiban terdakwa selaku Kalapas Sukamiskin melaksanakan perintah Undang-undang," kata Firma.
Dalam pleidoi tersebut, kuasa hukum juga menjelaskan perihal permasalahan yang dihadapi Wahid selama menjabat. Salah satunya Wahid harus berhadapan dengan narapidana yang tak lain mantan-mantan pejabat.
"Ada mantan menteri, anggota DPR, Ketua Lembaga Tinggi Negara, jenderal purnawirawan. Mereka memandang terdakwa selaku Kalapas hanya eselon 2b tidak mempunyai bobot untuk menertibkan," tuturnya.
"Karena secara kejiwaan para narapidana terpengaruh dengan kenyataan bahwa mereka pernah mempunyai anak buah eselon 2 semasa menjabat dan malah anggota legislatif/DPR sangat terbiasa berhadapan dengan menteri. Eselon 1, eselon 2 dipandang jauh berada di bawah level mereka," kata Firma. (dir/bbn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini