"Suka, sih, tapi ada kecewanya karena hanya sejumlah itu tapi nunggunya hampir 9 tahun," kata Sri saat ditemui detikcom di Jalan Cimanuk V, Semarang, pekan lalu.
Ia bercerita di warung kecil tempatnya bekerja menggoreng keripik peyek di Semarang. Sesekali ia tersenyum berusaha menutupi kesedihannya dengan rasa syukur.
"Uangnya sudah habis buat bayar utang, terimanya kemarin (Selasa)," tandas ibu 4 anak itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sulitnya, kayak dipingpong, sampai ke Jakarta juga," ujarnya.
Nestapa yang menimpa Sri berawal 8 Juni 2011 saat dia dituduh melakukan tindak pidana perdagangan anak yaitu mempekerjakan anak di bawah umur di sebuah karaoke, padahal Sri hanya seorang kasir di karaoke itu. Bahkan saat itu dan ia berada di rumah ketika polisi menggerebek tempat kerjanya dan diminta datang.
Dalam persidangan Pengadian Negeri Semarang menjatuhkan huuman 8 buan penjara dan denda Rp 2 juta subsider 2 bulan penjara. Pengadilan Tinggi Semarang kemudian memperberat hukuman menjadi 1 tahun 2 bulan dan denda Rp 2 juta.
LBH Mawar Saron selaku kuasa hukum mengajukan kasasi hingga akhirnya MA membebaskan Sri setelah 13 bulan dibui. Berbekal putusan bebas itu, pihak Sri menuntut ganti rugi ke negara. Kemudian hakim menghukum negara membayar Rp juta kepada Sri dan mengembalikan uang denda Rp 2 juta yang sudah dibayar Sri.
"Jadi Rp 5 juta itu dari negara, yang Rp 2 juta itu memang uang saya," tandas Sri.
Selesai? Belum, karena ternyata dampak dia dibui sangat besar bagi keluarganya. Tiga dari 4 anak perempuannya harus putus sekolah dan membantu mencari nafkah karena Sri adalah tulang punggung sedangkan suaminya, Hendra Wijaya hingga kini hanya bisa di rumah karena Diabetes.
"Yang sekolah hanya 1 sekarang SMK kelas 3, saya pertahankan itu," pungkas Sri.
Ia juga merelakan putri keduanya menikah di usia belia karena ia cukup lama mendekam di bui tanpa penghasilan. Setelah bebas dan memperjuangkan haknya, Sri lanjut pontang-panting memenuhi kebutuhan keluarga.
Saat ini Sri bekerja di 3 tempat sekaligus. Pukul 05.00 sampai 12.00 membantu di rumah makan, kemudian pindah membantu bersih-bersih di daerah Gombel sampai jam 16.00, kemudian ke warung di Jalan Cimanuk V untuk menggoreng peyek hingga jam 21.00.
"Di rumah numpang tidur saja, haha. Ya sampai rumah bersih-bersih sama bantu persiapan sekolah anak. Tidur paling 2 sampai 3 jam. Pendapatan dari 3 tempat itu total ya sekitar Rp 2,5 juta sebulan," katanya.
Selain itu, Sri dan anak terkecilnya ternyata sedikit trauma dengan polisi. Sejak Sri dibui, anaknya selalu takut ketika melihat polisi, dan menurut Sri hingga kini perasaan itu masih ada.
"Masih trauma. Hari Senin (4/3) kemarin datang orang Polres ke rumah, saya masih kerja, anak langsung telepon tanya ada apa lagi. Polisinya juga tidak menjelaskan katanya saya sudah tahu," ujarnya.
Kepanikan itu mereda setelah Sri pulang dan menghubungi polisi yang datang ke rumahnya karena meninggalkan nomor telepon. Petugas itu datang untuk mengabarkan uang dari negara sudah cair. Ia pun minta didampingi oleh LBH Mawar Saron sebagai saksi untuk menerima uang tersebut di Mapolrestabes Semarang kemarin.
"Ya kalau dipikir ya tidak adil sebenarnya, dipenjara 1 tahun, sehari misal bisa punya penghasilan Rp 100 ribu, kan banyak. Anak-anak jadi tidak sekolah, jadi berantakan," terangnya sambil memalingkan muka berusaha menahan air mata.
Mengapa Sri Mulyati Hanya Mendapatkan Ganti Rugi Rp 5 Juta?
Ganti rugi ke Sri Mulyati didasarkan pada peraturan sisa rezim Orde Baru. Dalam PP 27/1983 itu, korban salah tangkap diganti Rp 5 ribu hingga Rp 1 juta. Jika korban meninggal dunia, maka akan diganti maksimal Rp 3 juta.
Anehnya, nominal ini tidak pernah disentuh untuk direvisi, dari Presiden Soeharto hingga Presiden SBY.
Hingga Jokowi memerintahkan Menteri Yasonna Laoly merevisinya. Yasonna pun bekerja secara cepat dan sunyi. Atas rekomendasi Ditjen Peraturan Perundang-undangan (PP), yang dikomandani Prof Widodo Ekatjahjana, usulan revisi diteruskan ke Presiden Joko Widodo pada akhir Oktober 2015. Pada pekan pertama November 2015, Kemenkum HAM menerima persetujuan dan perintah Presiden Jokowi merevisi PP 27 tersebut.
Baca juga: Revolusi Sunyi Yasonna Laoly |
Kemenkum HAM kemudian menyusun draft revisi dan setelah jadi, Menkum HAM mengundang Mahkamah Agung (MA), Jaksa Agung, Kapolri dan Menteri Keuangan. Dalam rapat dua jam di ruang kerja menteri, semua sepakat dengan usulan tersebut. Tanpa kegaduhan, mereka sepakat merevisi nilai ganti rugi itu.
"Baru tahun ini kita melihat-melihat peraturan yang nggak sesuai dan Presiden menyambut baik yang kita ajukan," kata Yasonna di kantornya pada 2015 silam.
Menkum HAM dkk akhirnya menyepakati revisi PP 27/1983 menjadi:
1. Korban ganti rugi salah tangkap/korban peradilan sesat diganti Rp 500 ribu hingga Rp 100 juta.
2. Jika korban ganti rugi salah tangkap/korban peradilan sesat luka/cacat maka diganti Rp 25 juta-Rp 100 juta.
3. Jika korban ganti rugi salah tangkap/korban peradilan sesat meninggal dunia, maka diganti Rp 50 juta-Rp 600 juta.
Namun setelah Jokowi menandatangani, mekanisme pembayaran dari negara ke Sri Mulyati penuh jalan berliku. Pada 5 Februari 2019, pembayaran ganti rugi Sri Mulyati dilakukan di Polrestabes Semarang dengan didampingi oleh Direktur LBH Mawar Saron, Ester Natalya dkk.
Sementara itu, pembela Sri Mulyati dari LBH Mawar Saron, Guntur Perdamaian mendapatkan Pro Bono Award. Anugerah ini diberikan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan menjadi award pertama di Asia Tenggara untuk kategori probono.
"Guntur meraih jawara ajang Pro Bono Award gelaran Pusat Bantuan Hukum (PBH) DPN PERADI atas kerja kerasnya memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada Sri Mulyati, kasir salah satu karaoke di Semarang," kata ketua panitia Rivai Kusumanegara kepada detikcom pada 2016.
(asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini