"Masyarakat yang di bawah jadi bingung. Bukan saja itu, umpanya, kasus OSO di DPD. MK sudah mengatakan jangan, tapi diputuskan juga di MA. Badan peradilan kita beda pendapat. Yang parahnya adalah... perbedaan, kontestasi yang tidak sehat di kalangan politisi. Politisi hari ini, dalam bacaan saya, sebagian besar tidak mau naik kelas jadi negarawan. Jadi tetap di situ aja. Itu yang merusak demokrasi kita," kata Buya Syafii di Aula Panti Trisula Perwari, Jalan Menteng Raya No 35, Jakarta Pusat, Kamis (28/2/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemilu pileg dan pilpres yang kali ini agak ruwet karena serentak. Karena ada lima yang kita pilih, ada Presiden, DPR, DPD, DPRD kota/kabupaten dan provinsi. Lembarnya luas dan lebar. Ini masalah," ujarnya.
Sebelumnya, dalam kasus ini, KPU mencoret nama OSO dari DCT berdasarkan putusan MK. Ketua KPU Arief Budiman pada saat itu berpegang teguh ada MK yang memiliki sifat final dan mengikat. Maka pengunduran diri dari kepengurusan partai menjadi syarat calon bagi caleg dalam mendaftar, sesuai dengan putusan MK.
Putusan KPU yang mengacu pada MK itu diprotes oleh OSO. Sebab, MA yang mengabulkan gugatan uji materi Peraturan KPU (PKPU) No. 26/2018 yang diajukan OSO. Ketika itu, MA membatalkan ketentuan yang mewajibkan bakal calon anggota DPD untuk mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai pengurus partai politik (parpol), apabila yang bersangkutan sedang menjabat sebagai pengurus parpol pada masa pencalonan (Pasal 60A PKPU 26/2018). (idn/elz)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini