Warga mengaku waswas ketika melepas putra-putri mereka sekolah. Kebetulan, satu-satunya Sekolah Dasar (SD) hanya ada di desa seberang. Tidak jarang mereka terpaksa bertaruh nyawa hanya untuk melintasi derasnya aliran sungai.
Perlintasan sungai itu adalah satu-satunya akses paling dekat menuju Desa Cibanteng, ketika hujan datang air sungai pun meluap. Pelajar akhirnya lebih memilih untuk libur. Kalau sudah telanjur menyeberang ke sekolah akhirnya mereka terpaksa menginap daripada memaksakan diri untuk melintas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Didin pernah ada kejadian warga yang hanyut karena memaksakan diri tetap menyeberangi sungai saat meluap.
"Pernah ada kejadiannya beberapa tahun yang lalu, warga hanyut ketika menyeberangi sungai itu saat hujan. Sejak kejadian itu warga was-was dan memilih untuk tidak melintas," tambahnya.
Akibat kejadian itu hingga saat ini warga lebih memilih untuk bergantian menyebrangkan anak-anak yang akan sekolah.
"Mulai saat itu warga bergantian jaga di sungai saat anak-anak akan melintasi sungai, sudah jadi kebiasaan. Meskipun kami tetap khawatir, ketika hujan deras takut-takut ada anak yang nekat menyeberang," ujarnya.
Akses untuk menuju ke lokasi perkampungan warga dari jalan utama Cianjur diakui Didin memang sulit, jalanan penuh tanjakan curam dan belum tersentuh aspal. Persoalan minimnya infrastruktur menjadi persoalan lain warga selain masalah jembatan.
"Untuk sampai ke kampung kami, belum bisa mengunakan kendaraan roda empat, akibatnya warga kesulitan ketika akan mengangkut hasil pertanian dan kebun ke pusat kota Cianjur," tandas dia. (sya/ern)