"Belum tahu, kan soal progresnya masih banyak hal yang harus diselesaikan, jadi ya belum tahu soal itu saya," jelas Kepala Bagian Humas dan Protokol UGM, Iva Aryani saat dihubungi wartawan, Rabu (13/2/2019).
Memang sebelumnya pihak UGM menyatakan HS dan Agni (bukan nama sebenarnya) yang merupakan terduga korban bisa diwisuda pada Bulan Mei 2019. Namun keduanya masih memiliki mandatory di kampus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
HS masih diharuskan mengikuti mandatory konseling. Sementara Agni diwajibkan menjalani trauma konseling dengan psikolog klinis yang ditujuk oleh UGM atau yang dipilihnya sendiri sampai dinyalakan selesai.
Iva mengakui bahwa mandatory konseling dan trauma konseling tersebut merupakan kewajiban yang harus dijalani keduanya. Namun dia enggan berkomentar terlalu jauh terkait program ini.
"Tapi intinya persoalan itu saya lebih banyak no comment-nya, karena di UGM itu (non litigasi) sudah selesai. Tentang mandatory konseling dan lain sebagainya kemarin di jumpa pers juga sudah diterangkan," tutupnya.
Sebelumnya, pengacara HS, Tommy Susanto mengatakan kliennya akan diwisuda pada Mei 2019. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa UGM mendengar isi hati mahasiswanya.
"Klien saya dapat diwisuda bulan Mei 2019, itu kabar gembira. Artinya apa, bahwa ternyata pihak UGM mendengar curhatan kita, mendengar isi hati mahasiswanya," kata Tommy kepada wartawan, Jumat (8/2).
Menurut Tommy, wisuda merupakan hak HS dan merupakan ranah yang berbeda dengan proses hukum yang kini berjalan di Polda DIY.
"Kalau perbuatan pidana terbukti, itu berbeda dengan akademiknya, nggak ada kaitannya. Sehingga bulan Mei 2019 HS insyaallah akan diwisuda," jelasnya. (ush/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini