Upaya ini misalnya, dilakukan dengan membuat pesan-pesan kunci melalui berbagai media sosial dan website yang membawa narasi bahwa umat Islam di Indonesia diperlakukan tidak adil. Bahkan disebut Islam menghadapi ancaman dari pihak luar.
"Sebagai respons terhadap situasi tersebut, seruannya adalah kembali menegakkan atau menjalani hukum Islam secara utuh dari level individu hingga negara dan melakukan perlawanan terhadap kelompok yang dianggap mengancam tersebut," kata Rommy dalam keterangan tertulis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rommy meminta kepada semua pihak mewaspadai hal-hal seperti itu, sebab jika semua terpengaruh dan saling memprovokasi, akan membuat perpecahan antar kelompok. Akibatnya bisa muncul kembali konflik antar agama seperti yang pernah terjadi di Ambon tahun 2011 dan Poso pad tahun 1998-2000. Atau konflik antar madzhab seperti yang pernah terjadi di Sampang Madura tahun 2011 dan 2012.
Oleh karena itu, semua provokasi yang saat ini banyak beredar di media sosial harus ditanggapi dengan bijak. Jangan sampai malah memperbesar provokasi dengan memposting hal yang sama di akun media sosial.
"Kita tidak boleh terbawa arus negatif dunia maya, namun harus mampu memfilter informasi-informasi negatif yang bersifat provokatif dan disintegrative," ungkap Rommy.
Ia mengingatkan peran media sosial saat ini dapat mempercepat penyebaran radikalisme. Dengan adanya media sosial, pola penyebaran radikalisme berubah dari yang sebelumnya dilakukan secara terpusat melalui pertemuan tertutup, kini berubah menjadi lebih cepat tersebar dan bervariasi.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini