Pelajaran "Kinerja Publik" dari Amerika Latin
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pelajaran "Kinerja Publik" dari Amerika Latin

Rabu, 23 Jan 2019 12:30 WIB
Joko Tri
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Gunung sampah di TPA Cipayung, Depok (Foto: Matius Alfons)
Jakarta -

Saya cukup tergelitik ketika membaca berita pemecatan Wali Kota Bogota, Kolombia, Gustavo Petro akibat kelalaian dalam pengelolaan sampah publik. Makin terusik jika dibandingkan dengan kondisi di Indonesia ketika pejabat publik justru dengan gampangnya mencederai janji pelayanan publiknya.

Permasalahan sampah di Kolombia yang awalnya menjadi tanggung jawab swasta, dengan campur tangan wali kota justru dialihkan ke badan usaha milik pemda (BUMD). Sayangnya, dari hasil investigasi, perusahaan yang disiapkan pemda ternyata tidak memenuhi kualifikasi sehingga pelayanan sampah publik menjadi terganggu. Akibatnya sampah menumpuk di beberapa sudut kota serta mengganggu kenyamanan masyarakat.

Oleh Kantor Inspektur Jenderal, Wali Kota Gustavo Petro kemudian diminta mundur sekaligus dilarang memegang jabatan publik selama 15 tahun. Dengan usia saat ini sudah mencapai 53 tahun, maka karier politik Gustavo Petro boleh dikata sudah habis. Dalam perjalananya, Gustavo Petro masih menyatakan keberatan serta mengajukan banding atas keputusan tersebut. Demo damai menentang pemecatan kemudian muncul, terutama dari partai pendukung. Mereka meminta adanya keringanan hukuman mengingat periode sebelumnya, Sang Wali Kota memiliki kredibilitas positif melalui kebijakan pelarangan peredaran senjata api secara umum.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal yang sama juga terjadi di San Buenaventura, sebuah kota kecil di Bolivia Utara, ketika masyarakat menggunakan hak konstitusional "keadilan sosial" untuk memasung Wali Kota Javier Delgado karena dianggap kinerja pelayanan publiknya sangat buruk. Insiden pemasungan oleh warga tersebut bagi Javier Delgado sudah kejadian yang ketiga selama dua setengah tahun periode masa jabatanya.

Dalam banyak kasus yang sama di Indonesia, publik tentu ingat kasus tidak tertanganinya persoalan sampah di sebuah kota di pinggiran Jakarta. Dampak yang ditimbulkan pun hampir sama, sampah tidak terkelola dan menumpuk di jalanan. Untungnya pada akhirnya disepakati tempat pembuangan sampah sehingga kejadian tersebut tidak berujung pada pemakzulan pejabat publik. Kasus longsornya gunung sampah di sebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) serta berbagai bencana pembangunan lainnya hanya menjadi contoh sederhana kegagalan pejabat publik dalam mengelola persoalan pelayanan kepada masyarakat.

Indikator Keberhasilan

Karenanya kasus di Bogota dan Bolivia ini unik sekaligus menginspirasi. Kasus ini secara tidak langsung juga mengingatkan memori terjadinya kebangkrutan di Kota Detroit, AS yang menyebabkan menurunnya kualitas pelayanan publik, di samping kesalahan pengelolaan utang publik. Secara teori, kegagalan pemerintah dalam mengelola pelayanan publik berpotensi mengantarkan perkembangan kota ke arah nekropolitan.

Nekropolitan didefinisikan sebagai pentahapan pertumbuhan kota menjelang arah kematian, yang ditandai dengan runtuhnya peradaban masyarakat dan kota. Kota secara perlahan akan mulai ditinggalkan, sehingga struktur sosial masyarakat menjadi kacau balau. Sistem ekonomi mandek, sistem politik hancur, sistem hukum tidak dapat berjalan dan semua interaksi serta mobilitas penduduk mati. Beberapa kota di dunia diprediksi sedang menuju arah nekropolitan.

Sayangnya, banyak kasus kegagalan pelayanan publik di Indonesia justru terabaikan begitu saja. Di Indonesia, kualitas dan kinerja pelayanan publik belum menjadi indikator utama keberhasilan pemerintah. Penilaian keberhasilan pemerintahan sebatas kemampuan menaikkan anggaran serta pengelolaan indikator ekonomi lainnya.

Pemerintah sendiri juga mengakui adanya kelemahan ini, seperti yang dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Dalam peraturan tersebut, pelayanan publik masih dianggap menjadi permasalahan birokrasi, bersama dengan ketepatan organisasi, tumpang tindihnya regulasi aparatur negara, kualitas aparatur, kewenangan serta budaya kerja.

Dalam penjelasannya, kualitas pelayanan publik yang ada dianggap belum mampu mangakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta belum memenuhi hak-hak dasar warga negara. Penyelenggaraan pelayanan publik juga diakui belum mampu memenuhi standar kualitas pelayanan di negara maju di tengah kompetisi bisnis global yang semakin ketat. Untuk itulah pemerintah kemudian menyusun visi reformasi birokrasi "Terwujudnya Pemerintahan Kelas Dunia" yang nantinya akan menjadi acuan pelaksanaan.

Pemerintahan kelas dunia didefinisikan sebagai pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi, yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis agar mampu menghadapi tantangan abad 21 melalui tata pemerintahan yang baik pada tahun 2025. Penggunaan indikator kualitas pelayanan publik sebagai salah satu kriteria keberhasilan tentu sangat mendukung upaya menciptakan pemerintahan kelas dunia tersebut.

Alangkah indahnya jika kelak para pemimpin baik di level nasional maupun di daerah berlomba-lomba memajukan pelayanan publiknya, meskipun pada tahap awal lebih didorong oleh motivasi mempertahankan jabatan. Dalam konteks yang lebih luas, pelajaran kinerja publik ini juga wajib diterapkan di level pemerintah pusat, mulai dari pejabat setingkat Eselon I (Dirjen) hingga Menteri.

Di beberapa Kementerian, mekanisme open bidding sudah diterapkan untuk menjaring input yang terbaik dalam memenuhi aspek transparansi dan akuntabilitas publik. Proses input yang sudah baik ini seyogianya dapat dilanjutkan dengan mekanisme penetapan target kinerja pelayanan publik seperti yang terjadi di Kolombia. Hal ini menjadi semakin urgent mengingat pemerintahan saat ini sangat memprioritaskan perbaikan pelayanan publik melalui peningkatan alokasi anggaran infrastruktur secara signifikan baik melalui mekanisme penganggaran pusat maupun daerah.

Untuk tahun 2019, alokasi belanja infrastruktur mencapai Rp 425 triliun atau tumbuh 2,4% dibandingkan alokasi 2018 sebesar Rp 410,4 triliun. Besarnya alokasi belanja infrastruktur tersebut memang relatif mengagumkan mengingat pada 2014 saja alokasinya masih berkisar Rp 154,7 triliun.

Di dalam penetapan target, direncanakan akan dibangun pembangunan/rekonstruksi/pelebaran jalan hingga 2.007 km, pembangunan bandara baru sebanyak 4 unit, pembangunan jaringan irigasi 162 ribu hektar, pembangunan dan rehabilitasi jembatan 27.067 km, pembangunan/penyelesaian rel KA sepanjang 415,2 km'sp dan pembangunan bendungan sebanyak 48 unit. Dari sisi kebijakan, tahun 2019 diupayakan tercapai mekanisme perbaikan eksekusi proyek infrastruktur, koordinasi lintas sektoral termasuk pemda serta pemberdayaan BUMN dan swasta melalui skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha-Availability Payment (KPBU-AP).

Yang menjadi persoalan krusial, siapa lembaga apa yang nantinya akan diserahi tanggung jawab menyusun indikator penilaian kualitas pelayanan publik? Seberapa independen lembaga tersebut dalam memberikan keputusan? Bagaimana metodologi penilaian kualitas pelayanan publik serta mekanisme reward and punishement seperti apa yang layak diberikan? Pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya mudah dipecahkan, namun niscaya akan menjadi persoalan serius di Indonesia.

Joko Tri Haryanto peneliti Badan Kebijakan Fiskal

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads