Toko buku indie di pojokan pasar modern yang terletak di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan itu adalah POST. Nama itu tak asing di kalangan bibliofili Ibu Kota, terlebih bagi mereka yang sering menyambangi toko berukuran 4x2 meter itu.
Bagaimana bisa toko buku seukuran itu mendapatkan pamornya? Apa yang membuat toko buku yang tidak buka setiap hari ini berbeda?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kami berjumpa dengan Teddy W Kusuma. Dia dan istrinya bernama Maesy Angelina mendirikan POST pada 2014 lalu.
Buku-buku yang dijual di sini tak akan mudah ditemui di toko buku mayor milik perusahaan besar yang punya cabang di banyak kota. Keruan saja, semua buku yang dijual sini merupakan hasil pemilihan dari pemilik dan kawan-kawannya, selera mereka tidak sama dengan toko buku arus utama. Dari proses kurasi semacam itu, toko buku indie ini mendapatkan kekhasannya.
![]() |
"Konsep kurasinya adalah buku-buku yang kami sukai, yang kami ingin buku itu dibaca banyak orang," kata Teddy, Kamis (13/12/2018).
Kini ada lima orang awak yang menggawangi kurasi buku-buku yang dijual di toko. Penulis hingga pembaca juga turut memberi pertimbangan rekomendasi . Selain itu, beberapa penerbit indie yang mereka percayai kualitasnya bisa langsung menjual terbitannya di sini, tanpa kurasi lebih lanjut dari POST. Misalnya penerbit Banana atau Marjin Kiri.
"Tidak melulu atas alasan komersial, nah itu yang kami ingin ada di POST. Jadi konsep tokonya seperti itu, untuk menjadi satu tempat mendapatkan bacaan alternatif yang menarik, gitu," ujar Teddy.
Buku yang dijual bukan semata-mata karena alasan buku itu baru. Kadang ada pula buku-buku 'telat panas' yang baru diapresiasi orang setelah berbulan-bulan sejak pertama kali terbit. Bila di toko buku besar, buku-buku yang tidak laku akan dimasukkan ke gudang setelah dua atau tiga bulan lamanya, buku-buku di toko indie ini bisa makan waktu lebih lama untuk nongkrong di etalase. Menurutnya, buku yang bagus tidak selalu harus baru.
![]() |
"Makanya ada buku yang sejak pertama POST buka sampai sekarang itu akan selalu ada, laku atau tidak laku. Misalkan buku 'Rumah Kopi Singa Tertawa' (karya Yusi Avianto Pareanom), itu buku pertama yang ada di POST. Bahkan itu adalah buku yang menjadi alasan mengapa kami bikin toko buku dari penerbit independen," tuturnya.
Selain menjual produk penerbit indie, ada hal lain yang membuat beda. Hal itu adalah kedekatan personal. Toko buku yang kecil memungkinkan tumbuhnya kedekatan antara pengelola dengan pengunjung, juga antara pengunjung dengan pengunjung. Interaksi yang mesra mudah terjalin.
"Kayak dulu ada pasangan yang sering berkencan ke POST, mereka pacaran mainnya ke toko buku, terus sekarang sudah menikah, jadi mereka masih sering main ke POST," kata Teddy.
![]() |
Pengelola bisa merekomendasikan buku yang menarik bagi pengunjung secara langsung. Kedekatan semacam ini menurutnya sudah menjadi ciri khas toko buku indie baik di Indonesia maupun di luar negeri. Hampir tiap pekan ada acara diskusi buku atau kelas menulis, mereka juga kerap menghadirkan penulis buku.
"Menurut kami toko buku itu tidak hanya tempat transaksi, tapi menjadi satu tempat orang bisa berinteraksi," jelasnya.
Sembari tertawa, Teddy mengemukakan idealismenya tentang toko buku indie ini. Dia ingin membentuk ruang publik alternatif di Jakarta. Di sisi lain, sebagai sebuah bentuk usaha, keuntungan dari penjualan tetap harus dipikirkan supaya toko buku ini bisa selamat. Toko buku indie Aksara bahkan menutup gerainya di pusat perbelanjaan Cilandak Townsquare dan Pacific Place.
![]() |
Untuk bertahan, toko-toko buku indie juga saling menopang. Misalnya, POST punya pojok khusus di Aksara yang beralamat di Kemang. Untuk toko aslinya, POST membuka toko di pasar yang cenderung lebih murah harga sewanya. Teddy percaya diri tokonya bakal aman tanpa terancam tutup hingga 2023. Keuntungan sejauh ini juga bisa untuk bertahan dan menggaji karyawan. Mereka juga 'beli putus' buku-buku dari penerbit. Meski begitu, keuntungan ekonomi dikatakannya bukan sebagai tujuan utama.
"Itu prioritas kedua ya. Prioritas utamanya adalah bagaimana toko buku itu menjadi ruang publik alternatif gitu," ujar Teddy.
Simak juga tulisan-tulisan lain di detikcom tentang toko buku indie dan minat baca. (dnu/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini