Les Gilets Jaunes atau Rompi Kuning meletus sekira dua bulan setelah saya mendengar cerita itu. Pada 17 November ribuan rakyat Prancis turun ke jalan-jalan dengan menggunakan rompi keselamatan berwarna kuning. Mereka berasal dari kota-kota kecil dan memiliki beragam latar belakang namun satu tujuan, yakni mendesak Macron membatalkan kenaikan pajak dan harga BBM.
Demonstrasi yang dilakukan tiap Sabtu itu telah memasuki pekan keenam dengan dampak yang hebat. The Local, salah satu media massa tertua dan berpengaruh di Prancis, melaporkan ada 10 orang meninggal dunia dan ribuan lainnya mengalami luka-luka akibat si Rompi Kuning. Hingga kini, tidak terdapat tanda-tanda meyakinkan bahwa akan terjadi penurunan tensi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baiklah kiranya kalau menelisik konteks dan cerita di balik kemenangan Macron pada Pemilu 2017 lalu, supaya dapat dirasakan bagaimana goresan perih itu terjadi.
Dukungan politik yang dipunya Macron waktu itu tak dapat lepas dari harapan besar yang dimiliki rakyat Prancis. Rakyat sedang frustrasi dengan pragmatisme politisi tua, apapun ideologi dan partai politiknya, dan menyadari bahwa kebijakan sosial yang digagas Presiden Francois Mitterand tahun 1983 sedikit demi sedikit tergerus. Rakyat Prancis butuh sosok baru yang dapat menghadirkan perubahan.
Macron kemudian hadir bersama citra penyelamat. Selain isu lingkungan, janji lima tahun ke depan yang ditawarkannya betul-betul merangkul kepentingan kelompok kiri dan kanan. Ia mengklaim diri sebagai kelompok tengah, neither left nor right, yang dengan mudah dipercaya pemilih mengingat riwayatnya sebagai Menteri Ekonomi di masa pemerintahan sosialis Presiden Hollande dan sebelumnya bekerja sebagai bankir.
Macron bukanlah pewaris pragmatisme politisi masa lalu. Usianya masih muda, 39 tahun, dan tidak punya partai politik. Partainya En Marche (On the Move) didirikan sesaat menjelang pilpres. Artinya, Macron memang tampil sempurna di mata rakyat yang tengah dibekap frustrasi dan kekhawatiran akan masa depan.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, dukungan besar mengalir deras. Hal tersebut tercatat sebagai salah satu peristiwa besar dan unik dalam sejarah politik Prancis. Para pendukung Macron berasal dari bermacam latar belakang, seperti mahasiswa, pengangguran, hingga pensiunan. Bahkan banyak di antara mereka yang belum pernah berpolitik, namun bekerja ikhlas dan militan. Mereka tidak dibayar, tetapi secara suka rela menggunakan apartemen dan rumah sebagai pos pemilu, berkampanye di mana dan kapan pun, dan berhasil mengumpulkan donasi sebesar enam juta euro atau hampir setengah dari pengeluaran Macron untuk pilpres.
Pengorbanan habis-habisan inilah yang mengantarkan Macron pada kemenangan. Pada putaran kedua, dua pertiga rakyat Prancis telah jatuh hati kepada Macron. Ia menang telak atas Marine Le Pen, politisi senior ultras kanan.
Beberapa saat setelah larut dalam euforia kemenangan, rakyat Prancis mulai menyadari, harapan yang diberikan kepada Macron rupanya sulit terwujud. Kebijakan-kebijakan yang dibuat cenderung melayani kepentingan orang-orang kaya. Ambil sebagai misal, orang-orang kaya menikmati pemotongan pajak atas real estate, sementara kaum menengah ke bawah yang meminta keberpihakan kebijakan hanya menemukan penghinaan verbal. Macron kemudian digelari President of the Rich, presidennya orang-orang kaya.
Kekecewaan itu meledak ketika disulut oleh kebijakan hijau yang akan dilaksanakan awal tahun 2019. Macron sangat berambisi menunjukkan teladannya dalam melaksanakan perjanjian lingkungan yang ditandatangani di Paris. Pun begitu, sebesar tiga perempat emisi nasional berasal dari konsumsi BBM oleh rakyat.
Kedua asalan itu yang mendorong Sang Presiden bertekad meningkatkan produksi listrik dari pembangkit tenaga angin sebesar tiga kali lipat dan tenaga surya sebesar lima kali lipat pada tahun 2030. Sepuluh tahun kemudian ditargetkan pula BBM tidak lagi ditemukan di pasaran Prancis. There is not planet B, ucap Macron di banyak kesempatan. Tak bisa tidak, bumi harus diselamatkan.
Ambisi ini mensyaratkan biaya besar. Anggaran pembangunan instalasi energi terbarukan harus menanjak dari semula lima miliar euro menjadi tujuh sampai delapan miliar euro per tahun. Maka, untuk itulah pajak dan harga BBM harus dinaikkan.
Persoalannya, Macron tidak mengkalkulasi kondisi transportasi umum di kota-kota kecil dan psikologi rakyat Prancis. Transportasi lengkap dan murah hanya bisa dinikmati oleh masyarakat di kota-kota besar, utamanya Paris. Masyarakat di kota-kota kecil harus menyandarkan diri pada kendaraan pribadi. Dengan demikian, kenaikan harga BBM akan mencekik rakyat di kota-kota kecil, sebagaimana yang dikeluhkan seorang teman yang berasal dari Normandy, sebuah provinsi barat Paris, dan banyak percakapan dan komentar publik di media massa lokal.
Macron luput pula dalam menghitung psikologi rakyat yang telah ditumbuhi bibit kekecewaan. Ketika kebijakan hijau diumumkan, ketidakpercayaan muncul dan menyebar cepat. Rakyat yang merasa dirugikan mengklaim bahwa hanya seperempat dari anggaran yang direncanakan untuk pembangunan energi alternatif tahun 2018 tepat sasaran. Yang lain malah lebih liar lagi, Macron akan menggunakan keuntungan kenaikan pajak dan BBM untuk membayar tunggakan utang orang-orang kaya.
Kekecewaan telah berubah menjadi luka yang perihnya tak tertahankan. Hubungan antara Macron dan Si Rompi Kuning bukanlah hubungan biasa antara rakyat dan presiden. Hubungan mereka adalah hubungan yang sangat emosional, di mana rakyat telah jatuh hati dan berjuang habis-habisan untuk memenangkan Macron. Tapi, hubungan emosional ini berubah luka yang perih ketika di kemudian hari Macron mengkhianati harapan dan pengorbanan para pemujanya.
Rompi Kuning pun lahir. Demonstran menggelar aksi dengan memobilisasi massa di banyak kota, termasuk di Paris. Ini terjadi secara alamiah, tanpa diorganisir oleh organisasi atau parpol apapun. Otoritas keamanan dipaksa melakukan penjagaan ekstra ketat dengan memeriksa setiap penumpang kereta dari luar Paris dan menutup puluhan stasiun besar seperti Charles de Gaulle dan Auber serta sejumlah Metro di radius 2-4 kilo meter dari titik-titik aksi.
Walaupun awal Desember lalu Macron telah mengabulkan desakan Rompi Kuning, demonstrasi terus berlangsung hingga sekarang dan belum menunjukkan gejala penurunan yang signifikan. Bahkan, jika sebelumnya menuntut pembatalan kebijakan hijau, maka kini Macron didesak untuk mengundurkan diri. Pastinya tidak sulit untuk memahaminya. Tak bisa tidak, itu karena perasaan mereka telah terluka, bukan sekadar rasa tidak suka.
Bagaimana akhir dari kisah ini sangat menarik untuk diikuti. Terlebih ketika semua kemungkinan dapat terjadi. Macron mungkin tak tergoyahkan dari jabatan presiden mengingat ia didaulat untuk masa jabatan lima tahun, tidak ada pemilu jeda, dan parpolnya merupakan mayoritas di legislatif. Tapi, Macron juga amat mungkin untuk dipaksa mundur lantaran rakyat Prancis memiliki sejarah panjang perlawanan terhadap penguasa.
Kini semua mata tertuju ke Prancis. Menunggu akhir dari kisah kemarahan orang-orang yang perasaannya terluka.
Yuli Isnadi pengajar FISIPOL UGM, mahasiswa postgraduate di University Paris est Marne-la-Vallee (UPEM) Paris
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini