"Sebenarnya kita memantau perkembangan dari tanggal 22 (Desember). Kemudian, kita amati, waktu itu letusannya masih ada selangnya. Tapi pada tanggal 23 (Desember) sudah jelas aktivitasnya tidak berhenti," kata Sekretaris Badan Geologi Antonius Ratdomopurbo di kantornya, Jl Medan Merdeka Selatan, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (27/12/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian juga pertimbangan munculnya abu tadi malam. Jadi semua itu untuk antisipasi eskalasi lanjut, maka statusnya dinaikkan karena tentu saja itu memberikan potensi daya yang lebih luas dari yang kita nyatakan waspada," ucap Antonius.
Ada Potensi Tsunami
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengimbau warga mewaspadai adanya potensi tsunami. BMKG terus memantau peningkatan aktivitas ini.
"Peringatan kewaspadaan potensi tsunami di wilayah pantai Selat Sunda dalam radius 500 m hingga 1 km masih tetap berlaku," kata Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono dalam keterangannya, Kamis (27/12/2018) pukul 09.45 WIB.
Selain adanya potensi tsunami, radius zona bahaya diperluas. Masyarakat diminta tidak mendekat 5 kilometer dari puncak gunung.
Baca juga: Akhir Misteri Suara Dentuman Tengah Malam |
"Zona berbahaya diperluas dari 2 kilometer menjadi 5 kilometer. Masyarakat dan wisatawan dilarang melakukan aktivitas di dalam radius 5 kilometer dari puncak kawah Gunung Anak Krakatau," kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangannya.
Secara umum, Ketua Ikatan Ahli Tsunami Gegar Prasetya menjelaskan ada empat aktivitas Gunung Anak Krakatau yang dapat memicu terjadinya tsunami. Hal yang paling pertama adalah erupsi dari gunung tersebut. Erupsi bisa menyebabkan terjadinya guguran material yang memicu terjadinya longsor dalam laut.
Mekanisme kedua adalah kolaps atau rontoknya dinding gunung. Kondisi ini terjadi seperti pada Sabtu (22/12) lalu.
Potensi ketiga, menurut dia, yang bisa memicu tsunami ialah piroklastik. Piroklastik adalah aliran letusan gunung berapi yang bergerak dengan cepat dan terdiri dari gas panas, abu vulkanik, serta bebatuan.
Kondisi terakhir, tsunami bisa terjadi jika Gunung Anak Krakatau meledak (eksplosif). Gegar mengatakan Gunung Anak Krakatau tak berpotensi meledak seperti ledakan dahsyat pada 1883.
Pakar geologi UGM Rovicky Dwi Putrohari juga menilai aktivitas Gunung Anak Krakatau berbeda dengan peristiwa pada 1883. "Saat ini aktivitas magmatiknya relatif lebih lemah dibanding 1883. Saat itu letusannya besar dan meruntuhkan dinding yang menyebabkan air laut masuk ke lubang kawah dan terjadi ledakan akibat air bertemu magma. Saat ini letupan ya lemah. Tapi tetap mengeluarkan material dan kemungkinan tertumpuk di kiri-kanan Gunung Anak Krakatau," kata Rovicky saat berbincang dengan detikcom beberapa hari lalu.
Pelayaran Masih Aman
Badan Geologi Kementerian ESDM menyatakan pelayaran aman meski status Gunung Anak Krakatau ditingkatkan. Asalkan, pelayaran tak dilakukan di area Gunung Anak Krakatau.
"Kapal laut, kalau nggak lewat kompleks Krakatau, nggak apa-apa. Kapal lautnya kan berlayar di antara Pulau Rakata dan Anyer itu loh di tengah-tengahnya, masih okelah (untuk berlayar), aman," kata Sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM, Antonius Ratdomopurbo, di kantornya.
PVMBG Tepis Anggapan Ahli AS
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menepis istilah yang digunakan ahli vulkanologi asal Amerika Serikat, Jess Phoenix, yang menyebut Gunung Anak Krakatau memasuki fase mematikan. Istilah 'mematikan' dinilai tak tepat.
"Anak Krakatau tidak benar dalam fase yang apa... judulnya 'mematikan'," kata Sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM Antonius Ratdomopurbo dalam konferensi pers di Kementerian ESDM.
Jess menganalisis kondisi terbaru Anak Krakatau dari foto Juli 2018 hingga Desember 2018. Dia juga menganalisis data erupsi Anak Krakatau. Jess Phoenix adalah ahli vulkanologi dari Amerika Serikat, salah satu penemu badan riset nirlaba, Blueprint Earth, dan seorang fellow di perkumpulan Royal Geographical.
"Jadi judulnya 'mematikan', itu tidak seperti itu. Kalau orang naik ke puncak Krakatau ya mematikan. Judulnya tinggal konteksnya apa," ujar dia. (bag/zak)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini