Pandji mengatakan pihaknya sudah memintai klarifikasi ke pihak rumah sakit. Pasien yang dimintai uang adalah pasien yang minta dibawa ke Jakarta. Waktu itu, keluarga korban minta jenazah diawetkan, minta disiapkan peti mati dan pengantaran. Hal ini tidak masuk standar KLB yang bisa ditanggung oleh rumah sakit.
"Standar KLB tidak ada, makanya rumah sakit minta ke pihak lain untuk bersedia untuk itu yang melakukan kegiatan itu," kata Pandji Tirtayasa saat dihubungi detikcom, di Serang, Banten, Kamis (27/12/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Soal kuitansi itu pun, menurutnya, adalah kuitansi tidak resmi. Pihak rumah sakit, waktu itu meminta pihak ketiga menyediakan kebutuhan pengantaran.
"Jadi ada miskomunikasi. Diminta cariin pihak ketiga menyiapkan tiga item itu. Dengan polosnya orang forensik bantu. Dia yang menerima uang, kesalahan orang itu. Uangnya diterima pihak ketiga yang menyediakan itu," tambahnya.
RSUD dr Dradjat hanya memiliki delapan ambulans untuk membantu evakuasi korban tsunami. Itu pun sudah mondar-mandir dari Anyer-Cinangka sampai ke Labuan. Pihak dokter dan staf di rumah sakit, menurutnya, sudah bekerja tanpa pamrih.
"Karena kesalahpahaman, jadi pengorbanan kami itu cacat," ungkapnya.
Tapi, Pandji mengatakan, pihak rumah sakit memang menjalin kerja sama operasi (KSO) dengan pihak ketiga yang membantu pengangkatan jenazah. Pihak ketiga ini digunakan bagi yang membutuhkan peti mati dan pengangkatan jenazah.
"Yang KSO dengan instalasi forensik, dia menjalin KSO bagi mereka yang butuh peti mati pengangkatan jenazah silakan hubungi kami. KSO dengan pihak lain yang ingin perlakukan khusus minta disediakan peti mati, formalin, sementara rumah sakit tidak punya standar untuk itu," paparnya.
Saksikan juga video 'Tangis Keluarga Pecah Saat Melihat Jenazah Korban Tsunami':
(bri/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini