"Digital memang efektif bisa lebih cepat daripada breaking news TV. Namun penyetiran konten harus lebih hati-hati karena masyarakat Indonesia apa-apa di-share dan di-foward, salah nanti bisa jadi bumerang makanya harus hati-hati," jelas Aloysia kepada detik.com di kantor Dentsu Aegis Network, Menara Sentraya, Jakarta, Kamis (13/12/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau mau awareness ke pemilih baru ngomongin janji nggak penting, yang penting itu kesadaran terlebih dahulu kalau ada partai tersebut," sambung Aloysia.
Treatment yang berbeda harus dilakukan para caleg dan partai jika ingin membujuk masyarakat untuk berpindah pilihan.
"Kalau supaya beralih, kita harus tampilkan bedanya apa sih partai ABCD dengan partai JKLM, bukan soal pemilihannya tapi bedanya visi misi serta bentuk content creativenya," lanjut Aloysia.
Aloysia menjelaskan, iklan juga bisa digunakan para caleg maupun partai politik untuk menangkal hoax dan berita negatif. Namun lagi-lagi kemasannya harus diperhatikan serta tidak bisa hanya mengandalkan iklan digital semata.
"Sampai sekarang sih masyarakat kita cenderung melihat TV atau koran masih ada sense percaya lebih tinggi, digital malah banyak dipertanyakan. harus ada dua sisi yang bekerja," tandas dia.
Sementara itu, tak bisa dipungkiri kontestasi politik diprediksi juga turut mempengaruhi tren periklanan di Indonesia. Menurut Country CEO Maya Watono hal ini akan sama kondisinya dengan situasi ekonomi yang kurang baik belakangan ini.
"Situasi politik selama periode kampanye, pemilihan legislatif, dan pemilihan presiden menjadi pertimbangan untuk para pemasang iklan untuk tetap beriklan atau cenderung wait and see," ujar Maya.
(mul/mpr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini