Dalam Seminar Nasional di Kampus IPDN, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, 29 November 2018, ia juga memaparkan tiga masalah yang perlu dibenahi dari Otda. Pertama, adalah egoisme kedaerahan yang berlebihan.
"Ada yang merasa sebagai daerah paling berjasa dalam kontribusi nasional," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (1/12/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, lanjutnya, adalah liberalisasi ekonomi global ke daerah yang tidak terkontrol pusat. Ketiga, kebijakan pemerintah pusat yang tidak konsisten dengan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, UU Tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, UU Tentang Pemerintahan Daerah, UU Tentang Kementriaan Negara, dan UU Tentang Desa.
Bahkan menurut pria yang akrab dipanggil Kang Agun itu perangkat hukum yang ada diberlakukan setengah hati. "Kewenangan diberikan belum sepenuhnya disertai penyerahan alokasi anggaran," lanjutnya.
Ia juga mengungkapkan konsep Otda dimulai awal reformasi pasca-Amandemen UUD 1945 dan rampung tahun 2002. DPR dan pemerintah pun telah mengesahkan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang di dalammya mengatur tentang desa.
Selain UU. No. 32 Tahun 2004, ada juga tahun UU. No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara. UU ini mengatur pembagian fungsi dan manajemen pemerintahan yang mendorong alokasi anggaran semakin besar ke daerah.
Meski aturan sudah ada, tapi pria asal Ciamis Jawa Barat itu mengakui pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengimplementasikan aturan terkendala dengan masalah yang ada, di antaranya isu keberadaan raja-raja kecil di daerah, potensi separatisme, dan korupsi kepala daerah. Hal tersebut, menurutnya, membuat alokasi APBN terus menumpuk di Jakarta seperti di kementerian.
Untuk menyenangkan daerah, dana yang dialokasikan pun ditransfer ke daerah, baik Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU berfungsi untuk belanja rutin dan belanja pegawai. Sedangkan DAK untuk pembangunan.
"DAK lebih kecil dibanding DAU," ungkapnya.
Selain DAK dan DAU, menurutnya, masih ada dana transfer daerah yang berada di kementerian. Untuk mendapat dana ini daerah wajib ikut Bimtek yang diselenggarakan di Jakarta. Juga wajib membentuk UPTD sebagai instansi pusat di daerah yang berfungsi untuk menyerap anggaran tersebut.
Ia lantas mempertanyakan proses tersebut. "Mengapa tidak diserahkan saja ke provinsi, kabupaten, dan kota secara langsung?" tanyanya.
Dari sini, ia mengatakan tak perlu lagi diadakan pengadaan alat dan barang dalam bentuk apapun yang dilakukan oleh pemerintah pusat atau kementerian.
"Bila diserahkan ke daerah akan mampu mendorong tumbuhnya pelaku usaha yang bermuara pada terciptanya lapangan kerja dan pemerataan pembangunan serta ekonomi," lanjutnya.
Agun pun bersyukur Pemerintahan Joko Widodo konsisten menjalankan UU. No. 6 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Desa. Menurutnya, pemerintahan saat ini telah mengalokasikan dana desa hingga terus meningkat.
"Tahun 2005 Rp 22 triliun dan di tahun 2019 meningkat hingga Rp 70 triliun," ungkapnya.
Selain itu, Agun juga mengemukakan perlunya memperhatikan tiga hal agar pelaksanaan Otda mampu memperkokoh NKRI.
Pertama, ujarnya, hilangkan egoisme kedaerahan yang berlebihan. Kedua, pemerintah daerah perlu berkonsultasi dan bersinergi dengan pemerintah pusat terkait masuknya kekuatan ekonomi global ke daerah yang bisa membawa nilai-nilai liberalisasi di tingkat lokal.
Ketiga, pemerintah pusat harus konsisten dengan UUD dan UU terkait dengan menyerahkan kewenangan disertai anggaran ke daerah. Utamanya, lanjut Agun, pemerintah harus terus meningkatkan dana desa sesuai UU No. 6 Tahun 2014 yang akan mencegah urbanisasi, mendorong kreativitas, dan menciptakan lapangan kerja mandiri.
Menurutnya, pemerintah juga perlu menjadikan desa sebagai desa produksi dan jasa agar kelak menjadi basis awal untuk membebaskan ketergantungan impor.
"Desa kuat, negara kuat. Daerah maju, negara maju," pungkasnya. (mul/mul)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini