"Pertama, memberikan langkah-langkah alternatif kepada KPU, terutama dalam upaya agar KPU tetap mematuhi dan menjalankan semangat yang diberikan dalam putusan MK. Kita memberikan beberapa saran," ujar Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, di kantor KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Selasa (27/11/2018).
Penyampaian saran ini dilakukan oleh Perludem, Kode Inisiatif, Formappi, dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara. Mereka diterima langsung oleh Ketua KPU Arief Budiman di kantor KPU.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"KPU bisa memberikan atau menyurati Pak OSO untuk segera mematuhi putusan MK dengan memberikan surat pengunduran diri sebagai pengurus parpol," kata Feri.
Baca juga: KPU Belum Tentukan Sikap soal OSO Nyaleg |
OSO diharapkan mematuhi putusan yang telah dikeluarkan oleh MK. Feri mengatakan, dengan mengundurkan diri, diharapkan OSO dapat meredakan perdebatan terkait putusan.
"Dengan sikap itu, tentu saja Pak OSO kita harapkan mampu berbesar hati mematuhi banyak putusan peradilan yang ada tanpa kemudian menimbulkan perdebatan ketatanegaraan yang ada di masyarakat saat ini. Jadi itu pilihan paling negarawan bagi Pak OSO ya, agar beliau sendiri yang bergerak menghilangkan kekisruhan ini," kata Feri.
Senada dengan Feri, Direktur eksekutif Perludem Titi Angraini memberikan rekomendasi yang sama. Titi berharap OSO mempunyai iktikad baik dengan menyerahkan surat pengunduran diri dari pemimpin parpol.
"Maka kami merekomendasikan KPU bisa memasukkan OSO dalam DCT, (dengan syarat) hanya jika ada surat pemberhentian sebagai pengurus parpol, itu yang kami usulkan," kata Titi.
"Iktikad baik itu kami harapkan dari Pak OSO sebagai elite politik nasional, pemimpin partai parlemen peserta Pemilu 2019 dan bagian dari koalisi yang mengusung salah satu paslon capres. Mudah-mudahan keputusan politik itu didukung oleh rekan-rekan koalisi yang lain, bahwa ini demi kebaikan ketatanegaraan kita," sambungnya.
KPU Diminta Ajukan Sengketa ke MK
Koalisi Masyarakat Sipil menyarankan KPU untuk mengajukan sengketa ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait lembaga mana yang berwenang memutuskan daftar calon tetap (DCT) calon legislatif. Hal ini terkait adanya putusan yang berbeda dari MK, Mahkamah Agung (MA), dan PTUN Jakarta terkait pencalonan anggota DPD Oesman Sapta Oedang (OSO).
"Kami menyarankan kepada KPU untuk mengajukan sengketa, kewenangan antar lembaga negara ke MK. Agar MK bisa memutuskan lembaga di Republik ini yang berhak memutuskan DCT dalam penyelenggaraan pemilu, dalam konteks ini adalah penentuan calon anggota DPD," ujar Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, di kantor KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Selasa (27/11/2018).
Jika nantinya MK membolehkan bukan hanya KPU yang berhak memutuskan DCT, maka KPU dapat meminta kejelasan terkait langkah yang harus dilakukan terhadap putusan lembaga lainnya, seperti putusan lembaga peradilan PTUN dan MA.
"Jika kemudian MK memutus bahwa tidak hanya KPU yang berwenang tapi juga peradilan, maka tentu ada kejelasan bahwa apa langkah-langkah ke depannya yang harus ditempuh oleh KPU," kata Feri.
"Tapi sebaliknya, jika kemudian MK berkata bahwa itu adalah ruangan kewenangan KPU (untuk memutuskan DCT), maka tidak ada upaya lain, bahwa apa yang ditentukan KPU itu lah pilihan terakhir agar proses penyelenggaraan pemilu bisa berlangsung baik," sambungnya.
Direktur eksekutif Perludem Titi Angraini mengatakan pihaknya percaya KPU akan melaksanakan pemilu sesuai dengan aturan. Dia mengatakan saran pengajuan sengketa tersebut bukan sebuah intervensi terhadap KPU.
"Tentu kami percaya KPU dalam menindaklanjuti putusan MK, MA dan PTUN akan berpegangan teguh pada aturan main yang berlaku, kepastian hukum, dan menegakan prinsip pemilu yang jujur dan adil. Kami datang kemari bukan ingin mengintervensi pengambilan keputusan oleh KPU, tapi pemilu itu kan diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat, kami datang sebagai masyarakat yang ingin sumbang saran," kata Titi.
Terkait pencalonan OSO sebagai caleg DPD RI, KPU berpegang pada putusan MK yang melarang pengurus partai politik menjadi calon DPD/senator. Keputusan MK soal anggota DPD tidak boleh lagi rangkap jabatan dengan menjadi pengurus parpol termaktub dalam putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018.
KPU lalu merevisi PKPU nomor 14 tahun 2018 menjadi PKPU nomor 26 tahun 2018 tentang pencalonan perseorangan peserta pemilu anggota DPD. PKPU tersebut menghambat langkah OSO sebagai caleg DPD karena posisinya sebagai Ketum Hanura.
OSO lalu mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) terhadap PKPU nomor 26 tahun 2018. MA lalu memutuskan Pemilu 2019 bisa diikuti calon anggota DPD yang juga pengurus Parpol.
Selain itu, OSO juga menggugat KPU ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait pecalonan dirinya sebagai caleg DPD. PTUN memenangkan OSO dan meminta memasukkan nama OSO sebagai calon DPD pada Pemilu 2019. (dwia/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini