Kisah Penghayat Kepercayaan Adat Musi yang Hidup Rukun di Sulut

Kisah Penghayat Kepercayaan Adat Musi yang Hidup Rukun di Sulut

Tim detikcom - detikNews
Rabu, 21 Nov 2018 11:09 WIB
ilustrasi penghayat (Foto: dok mk)
Manado - Dua bangunan bercat putih itu menjulang tinggi di atas Bukit Widduane, Desa Musi, Lirung, Sulut. Bangunan milik penghayat adat Musi itu digunakan dalam pelaksanakan ritual adat.

Dilansir Antara, Rabu (21/11/2018), Untuk mencapai puncak Widduane, terdapat jalan mendaki sekitar 10 menit, dengan 218 anak tangga, yang dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi.

Musi sebenarnya adalah nama sebuah desa di Pulau Salibabu Kecamatan Lirung, Talaud, Sulawesi Utara (Sulut). Di desa Musi inilah, hidup warga yang dalam kesehariannya menjadi penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha, Allah dalam Tubuh yang disingkat ADAT Musi. ADAT Musi diajarkan oleh Bawangin Panahal, di Desa Musi, pada tahun 1880 dan tetap hidup dan dipertahankan oleh para pengikutnya sampai saat ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Pimpinan penghayat ajaran ADAT Musi, Arnold Panahal, menuturkan, dalam masyarakatnya, berbagai tradisi yang diajarkan sejak kelompok itu terbentuk, pada lebih dari seabad yang lalu. Tak satupun yang diabaikan, meskipun zaman berganti dan teknologi mulai menyentuh masyarakat, tetapi tradisi-tradisi yang ada tetap terpelihara.

"Ada banyak tradisi dalam masyarakat penghayat ADAT Musi, yang tetap kami pelihara sampai saat ini, dan diteruskan oleh anak cucu, yang masih setia memegang ajaran," kata Arnold.



Panahal. Dia menyebutkan tradisi yang masih terpelihara dan juga diterima oleh masyarakat umum, adalah pola bercocok tanam dan "paramisi", dan yang utama adalah penghapusan model keningratan atau kebangsawanan yang diajarkan oleh Bawangin.

"Tradisi pola bercocok tanam, adalah melakukan ritual selama tiga hari, untuk memastikan apakah nantinya hasil panen baik atau tidak, sebab hasil panen tidak akan dijual, namun dibagikan kepada siapa saja yang berkekurangan, dalam pengertian memelihara hubungan sosial, dan paramisi yakni melakukan doa dalam semua kegiatan dalam bentuk apapun, bahkan saat hendak memetik daunpun harus ada paramisi," katanya.

Arnold menuturkan tradisi penghapusan kebangsawanan dalam ADAT Musi, menjadi hal utama dalam kehidupan masyarakat tersebut, sehingga sekarang tidak ada lagi warga yang berstatus sebagai raja dalam struktur sosial masyarakat. Strata sosial merata, tidak ada raja dan hamba, kecuali sikap menaruh hormat kepada orang yang dituakan atau tua-tua kampung.

Wakil Bupati, Petrus Tuange,mengakui selama ini tidak pernah ada gesekan antara masyarakat ADAT Musi dengan warga umumnya. Bahkan mereka hidup rukun dan damai, dan mengakui keberadaan mereka.

Pemerintah dan DPRD kabupaten Talaud memberikan perlindungan kepada kelompok tersebut sesuai dengan undang-undang dan memandang mereka sebagai warga negara yang kedudukannya sama di mata hukum.

Penghayat ADAT Musi teguh menjalankan tradisi mereka di tengah perkembangan zaman yang semakin modern. Kedudukan hukum mereka kini diakui setelah Mahkamah Konstitutsi (MK) mengabulkan permohonan uji materi terkait kolom agama pada KTP pada 7 November 2017.


Simak Juga 'MUI Sesalkan Putusan MK soal Kolom Penghayat Kepercayaan di e-KTP':

[Gambas:Video 20detik]


(rvk/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads