Dua pesawat Sukhoi Su-27/30 milik TNI AU, Rabu (31/10) berhasil mengusir pesawat Airbus A-320 (V8-RBT) karena memasuki wilayah udara di sekitar Kepulauan RI tanpa izin.
Insiden tersebut kembali mengingatkan betapa wilayah udara RI di sekitar kawasan tersebut belum sepenuhnya dalam kendali Indonesia. Mantan KSAU Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim sejak beberapa tahun lalu senantiasa mengingatkan bahwa kontrol atas ruang udara atau FIR (flight information region) di Kepulauan Riau sejak 1946 dikuasai oleh Singapura.
Kuasa Singapura atas langit Indonesia itu ditetapkan dalam pertemuan ICAO di Dublin, Irlandia, pada Maret 1946. Saat keputusan itu dibuat, menurut Chappy, delegasi Indonesia tak hadir. Ketika itu pun Singapura masih dikuasai oleh Inggris.
"Situasinya kita baru merdeka. Sehingga peserta pertemuan menyerahkan kendali ruang udara kepada otoritas yang dianggap terdekat, yaitu Singapura," kata Chappy dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu.
Singapura menguasai sekitar 100 mil laut (1.825 kilometer) wilayah udara Indonesia. Wilayah seluas itu mencakup Kepulauan Riau, Tanjungpinang, Natuna, Serawak dan Semenanjung Malaka. Dengan demikian, berbagai pesawat kita harus minta izin kepada otoritas penerbangan Singapura jika hendak terbang dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru di wilayah kedaulatan RI sendiri. Hal sama juga berlaku bagi penerbangan dari Pulau Natuna ke Batam dan penerbangan-penerbangan lain di kawasan Selat Malaka.
Akibat dikuasai Singapura, para penerbang kita, baik sipil maupun militer, kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif dari otoritas penerbangan Singapura. Kapten Pilot Christian Bisara dalam sebuah diskusi Gramedia Pondok Indah mengaku pernah diminta menurunkan ketinggian pesawat Garuda yang dikendalikannya karena jalur yang dilalui akan digunakan pesawat lain. "Ini kurang ajar betul. Saya sempat menolak dan menyampaikan nota protes," katanya.
Untuk mengambil alih kembali kedaulatan wilayah udara itu, menurut Christian yang pernah menjadi Direktur Sertifikasi Kelaikan Udara, perlu kemauan dan tekad yang kuat dari otoritas terkait, seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Dalam Negeri.
Menurut Chappy, sejak 1991 Indonesia telah mengajukan pengambilalihan FIR dari Singapura. Namun Singapura enggan melepas dan malah memperkuatnya. Pada 1993, dalam pertemuan Navigasi Udara Regional yang digelar Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau ICAO (International Civil Aviation Organization) di Bangkok, Thailand, Indonesia kembali mempersolkan isu tersebut. Tapi kalah lobi karena cuma mengutus pejabat eselon I, sedangkan Singapura selalu dihadiri oleh para menteri terkait.
Baru pada Januari 2012, pada pertemuan antara pemerintah Indonesia dan Singapura di Bali, tercapai kesepakatan bahwa FIR wilayah Kepulauan Riau akan dikembalikan. Salah satu dasar hukum pengambilalihan FIR itu adalah UU Penerbangan yang terbit pada 12 Januari 2009.
Di situ antara lain disebutkan, "Wilayah udara Republik Indonesia, yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian, sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 tahun sejak Undang-Undang ini berlaku."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Payung hukum lain yang menjadi pijakan adalah Pasal 1 Konvensi Penerbangan Sipil Internasional (Konvensi Chicago 1944) yang berbunyi, "Every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory."
Merujuk UU tersebut, FIR akan dikelola oleh Indonesia sepenuhnya pada 2024. Chappy mengaku telah menyampaikan rekomendasi pengambilalihan isu FIR ini kepada Presiden Joko Widodo. Respons atas masukan terseut adalah terbitnya Inpres kepada
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan pada 8 September 2015 agar mempersiapkan peralatan-peralatan dan personel yang lebih baik dalam tempo 3-4 tahun. Sehingga ruang udara kita dapat dikelola sendiri oleh Indonesia pada waktunya.
(jat/jat)