Bayu mengungkapkan "pada tahun 1848, seorang ilmuwan Belanda bernama Dr. D. T. Pryce, membawa benih sawit dan menanamnya di Kebun Raya Bogor. Komersialisasi minyak sawit di Indonesia pertama kali dilakukan oleh perusahaan Belgia, Socfin, pada tahun 1911". Socfin membuka perkebunan kelapa sawit di Pulau Rae Firja, Asahan, dan Sungai Liput, Aceh. Pabrik minyak sawit lalu didirikan di Sungai Liput pada tahun 1918. Pada tahun yang sama, satu perusahaan Jerman juga membuka perkebunan kelapa sawit di Tanah Itam Ulu, Sumatera Utara.
"Orang Eropa yang pertama mewariskan praktek budidaya dan komersialisasi minyak sawit di tanah Indonesia, lalu kenapa sekarang minyak sawit dimusuhi di Eropa? Apakah karena minyak nabati Eropa kalah bersaing oleh minyak sawit?" kata Bayu dalam seminar yang digelar di Berlin pada 21 September. Bayu juga merupakan dosen di Institut Pertanian Bogor dan mantan Wakil Menteri Pertanian dan Wakil Menteri Perdagangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jumlah populasi dunia saat ini adalah 7,3 miliar jiwa dan pada tahun 2050 diprediksi akan meningkat menjadi 9,7 miliar. Peningkatan populasi ini tentu akan berdampak pada penyempitan lahan. Saat ini satu hektar lahan rata-rata dihuni oleh 4,5 jiwa. Dengan peningkatan populasi pada tahun 2050 akan terjadi pula peningkatan penghuni sekitar 6,5 jiwa per hektar lahan.
Kebutuhan makanan dunia pun akan mengalami peningkatan. Tahun 2017 angka kebutuhan makanan dunia sekitar 4,5 juta ton. Angka ini akan diperkirakan akan melonjak menjadi 9 juta ton pada 2050. Man-land ratio akan menciut dari 0,22 hektar per kapita menjadi 0,15 hektar per kapita pada 2050. "Untuk itu, kita memerlukan komoditas pangan yang land-efficient," tutur Bayu dalam rilis pers KBRI Berlin, Rabu (26/9/2018).
Minyak sawit merupakan komoditas pangan dengan produktivitas tinggi tanpa memerlukan lahan yang luas. Untuk memproduksi 1 ton minyak sawit hanya memerlukan 0,26 hektar lahan. Bandingkan dengan minyak canola (rapeseed) yang memerlukan 1,25 hektar, minyak bunga matahari (sunflower oil) memerlukan 1,43 hektar, dan minyak kedelai (soybean oil) memerlukan 2 hektar lahan.
Selain Bayu, seminar ini juga menghadirkan Daniel May, Project Director dari Deutsche Gesellschaft fΓΌr Internationale Zusammenarbeit (Masyarakat Kerjasama Internasional Jerman). Menurut Daniel persepsi negatif yang berkembang di masyarakat Eropa mengenai minyak sawit dipicu dari masalah kebakaran hutan, pengeringan lahan gambut, dan konservasi keanekaragaman hayati.
"Minyak sawit merupakan komoditas serba guna (versatile). Tanpa disadari, masyarakat Eropa mengkonsumsi minyak sawit yang menjadi salah satu bahan pembuat produk cat, ban kendaraan, lilin, cairan pembersih, bahkan kosmetika" paparnya.
Tantangan saat ini adalah bagaimana mengubah persepsi tersebut. Menurut Daniel, yang juga menjabat sebagai Managing Director Forum Nachhaltiges PalmΓΆl (Forum for Sustainable Palm Oil), salah satu jawabannya adalah dengan meningkatkan sistem sertifikasi minyak sawit sehingga 100% produk minyak sawit yang masuk ke pasar Eropa sudah tersertifikasi.
Upaya ke arah itu sebenarnya telah dilakukan Indonesia, meskipun masih perlu upaya ekstra. Indonesia telah membentuk mekanisme wajib ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) sebagai pelengkap RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan SCC (Supply Chain Certification) yang merupakan sistem sertifikasi internasional. Minyak sawit merupakan satu-satunya komoditas minyak nabati yang diwajibkan untuk mendapatkan sertifikasi untuk dapat masuk ke pasar Eropa, tidak seperti komoditas minyak nabati lainnya yang dapat dijual bebas tanpa sertifikasi.
Tonton juga 'Keganasan Industri Sawit Ilegal di Hutan Kalimantan dan Papua':
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini