"Pagi tadi saya lihat-lihat alam Banyuwangi yang hijau, geliat kehidupan masyarakatnya, rasanya rugi kalau saya tidak menulis novel tentang daerah ini," ujarnya ketika ditemui di kawasan Jiwa Jawa Resort, Licin, Banyuwangi, Jumat (21/9/2018).
Suasana pagi di lembah Gunung Ijen, memang memiliki panorama yang mempesona. Bentangan sawah yang luas dengan model terasiring menjadi daya tarik tersendiri. Bahkan, dari ketinggian tertentu tidak hanya bisa menikmati kemegahan Gunung Ijen, namun juga birunya Selat Bali.
Penulis novel tetralogi Jendela, Pintu dan Atap itu, menyesal tak berkunjung Banyuwangi sejak lama. Keindahan alam dan budayanya bisa menjadi alur cerita novel yang kaya. "Saya nyesel kok baru ini nyampek ke Banyuwangi yang keren ini," aku novelis kelahiran Surabaya itu.
Dari 33 karya tulis yang telah diterbitkan, imbuh Fira, banyak bercerita tentang sejarah dan diskripsi lingkungan yang detail. Karakter yang demikian, menurutnya, sangat cocok dengan Banyuwangi. "Saya suka menulis novel yang sarat sejarah dan diskripsi lingkungan. Banyuwangi menyediakan hal ini," ungkapnya.
Baca juga: Fira Basuki Luncurkan Buku 'Sentuhan Ibu' |
Kehadiran penulis yang baru saja meluncurkan satu novel baru berjudul Ma Chere Ville Lumiere itu, hadir untuk berbagi dengan sejumlah penulis dari berbagai kota di Indonesia Writers Festival. Para penulis tersebut tidak hanya melakukan coaching clinic tentang kepenulisan. Namun, diharapkan mampu mengeksplore Banyuwangi dalam berbagai tulisannya.
"Silakan tulis tentang apa saja yang kalian rasakan. Bisa tentang acara ini, keindahan alamnya dan lain-lainnya," ungkap jurnalis senior Uni Lubis yang menggagas Indonesia Writers Festival kepada 150-an penulis pemula tersebut. (iwd/iwd)