"SPBK saat ini sudah diterapkan di Indonesia, namun masih mengacu kepada sistem atau algoritma dari negara lain yang berada di daerah subtropis dan bertumpu pada data cuaca, sehingga tidak seluruh parameternya menjadi sesuai dengan wilayah Indonesia," ujar Kepala BPPT Unggul Priyanto di gedung BPPT, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (18/9/2018).
Aplikasi ini dikerjakan bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) termasuk Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
BPPT menggelar Seminar Nasional PTPSW 2018
![]() |
Unggul menjelaskan, selain komponen cuaca, SPBK ini berkaitan dengan komponen aktivitas mnanusia, bahan bakaran antara lain berupa sebaran dan ketebalan gambut serta distribusi air gambut dan sumber air untuk mengatasi kekeringan gambut.
"Yang terakhir adalah komponen kerugian yang diderita dalam rupiah akibat kebakaran lahan gambut. Di sini diperlukan Akuntansi Sumberdaya Alam untuk memodelkan dan mendapatkan nilai kerugian sekaligus nilai potensi kerugian jika terjadi kebakaran pada penggunaan lahan tertentu," papar dia.
Menurutnya, riset dan kajian lahan gambut sudah lama dilakukan BPPT. BPPT ingin berkontribusi membantu percepatan dalam pengelolaan lahan gambut yang bermanfaat secara ekonomi tapi tetap dengan tata kelola lingkungan yang baik serta mencegah terjadinya kebakaran.
"Hasilnya telah diimplementasikan dalam bentuk kebijakan pengelolaan lahan gambut, tata ruang wilayah, tata kelola pemanfaatan lahan gambut," ujar Unggul.
Saksikan juga video 'BPPT: Belum Ada Peneliti di Dunia Bisa Prediksi Gempa & Tsunami':