Polemik 10 Ton Lele, Begini Sejarah Pembangunan Selokan Mataram

Polemik 10 Ton Lele, Begini Sejarah Pembangunan Selokan Mataram

Usman Hadi - detikNews
Senin, 10 Sep 2018 10:31 WIB
Acara mancing bersama di Selokan Mataram, Yogyakarta, Minggu (10/9). Foto: Usman Hadi/detikcom
Yogyakarta - Polemik pelepasan 10 ton lele dumbo di Selokan Mataram, Yogyakarta terjadi antara aktivis lingkungan hidup dan relawan Jokowi-KH Ma'ruf Amin. Aktivis lingkungan hidup protes karena khawatir kegiatan itu akan merusak ekosistem di Selokan Mataram.

Wild Water Indonesia (WWI) Yogyakarta bersama komunitas pecinta lingkungan yang tergabung dalam Solidaritas Gotong-royong Peduli Lingkungan Sungai (SoGo PeLuS) mengingatkan ketentuan Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2014 tentang Ikan Berbahaya, hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) soal ikan lele dumbo yang termasuk ikan introduksi dan invasif asing, dan pedoman restoking jenis ikan terancam punah Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Penyelenggara kegiatan yakni Relawan Jokowi-KH Ma'ruf Amin Untuk Kemuliaan Indonesia (Rejomulia) menjelaskan bahwa pihaknya sudah berkoordinasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan serta Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Yogyakarta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekjen Rejomulia, Andreas Andi Bayu menepis kekhawatiran pelepasan 10 ton lele memicu kerusakan ekosistem. Dia menyebut Selokan Mataram adalah selokan buatan, berbeda dengan sungai yang memiliki ekosistem alami.

"Di Selokan Mataram juga sering dipancing, airnya sepekan dua kali juga dikeringkan, dialirkan ke irigasi pertanian. Jadi mereka yang memprotes itu mungkin kurang paham," ujarnya saat dihubungi detikcom, Jumat (7/9).

Diwawancara terpisah, Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Yogyakarta memberi catatan kepada panitia acara yang bertajuk 'Mancing Gratis Geerrsama Sepanjang Selokan Mataram' ini.

BKIPM minta agar ada pembatasan jumlah ikan yang akan disebar. "Kita beri masukan ada pembatasan. Jadi nanti acara itu dari awalnya pelepasan 10 ton ikan lele dan 20 titik pancingan, dikurangi jadi 5 ton ikan dan 14 titik pancingan," kata Kepala BKIPM Yogyakarta, Hafit Rahman saat dihubungi wartawan, Sabtu (8/9).

Di balik polemik tersebut, ada sejarah panjang pembangunan Selokan Mataram. Keberadaannya bagaikan saksi bisu kebaikan dan kebijaksanaan Sultan Hamengku Buwono (HB) IX kepada rakyatnya.


Selokan Mataram dibangun sekitar tahun 1942 atau tahun-tahun awal Jepang menguasai Hindia Belanda (cikal bakal RI). Tatkala itu, Jepang mengeluarkan kebijakan romusha atau kerja paksa dalam membangun sejumlah proyek mereka di Hindia Belanda.

Kebijakan romusha tersebut juga berlaku bagi warga Yogyakarta. Sultan HB IX resah dengan adanya kebijakan tersebut, pasalnya banyak pekerja romusha yang dipekerjakan di daerah lain tak jelas nasibnya, banyak yang tewas karena diperlakukan kasar.

Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut tak ingin nasib sama dialami rakyatnya. Lobi pun dilakukannya. Sultan HB IX kepada Jepang menawarkan proyek pembangunan saluran irigasi di Yogyakarta.


"Sultan (HB IX) itu menyiasati (agar rakyatnya tidak menjadi romusha), karena Jepang itu mau mengambil tenaga kerja romusha dari Yogyakarta," kata Penghageng Tepas Dwarapura Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Jatiningrat saat dihubungi detikcom Senin (10/9/2018).

Ternyata usulan tersebut disetujui kolonial Jepang. Karena Jepang memang sedang membutuhkan pasokan logistik untuk perang di Asia Pasifik. Jepang berharap pasokan logistik tersebut tercukupi dari sawah di sekitar cikal bekal Selokan Mataram.

"Harapannya itu nanti kesejahteraan rakyat itu meningkat dengan sendirinya, pasokan beras, keuntungan dari kemakmuran itu akan mengalir ke Jepang. Itu harapannya seperti itu," ujar Jatiningrat.


"Akan tetapi Sultan pada waktu itu menyiasati lagi, dengan cara memanipulasi data-data statistik mengenai kesejahteraan di Yogyakarta. Dimanipulasi, diperkecil maksudnya. Sehingga Jepang tahunya angkanya kecil, sehingga bisa menghemat pasokan untuk Jepang," lanjutnya.

Selain itu, kata Jatiningrat, dibangunnya Selokan Mataram juga diilhami oleh kepercayaan rakyat Mataram di Yogyakarta. Bahwa rakyat akan sejahtera apabila Sungai Progo di sebelah barat dan Sungai Opak di sebelah timur berhasil disatukan.

"Dengan begitu itu akan memungkinkan untuk membuat sawah-sawah baru yang bisa digenangi dengan air di sepanjang (Selokan Mataram) antara Opak dengan Progo. Itu (wilayahnya) sebagian di daerah Sleman kalau enggak salah," tuturnya.

Untuk merealisasikan cita-cita tersebut, Sultan HB IX dibantu Jepang bersama-sama mendanai pembangunan Selokan Mataram. Para pekerja romusha Selokan Mataram yang notabene rakyat Yogyakarta sendiri juga diupah oleh Keraton.

"Iya ada (upahnya)," tegasnya.


"Tapi Sultan itu tidak pernah mengatakan (jumlah dana Keraton untuk pembangunan Selokan Mataram). Kalau apa-apa yang dikeluarkan oleh Keraton, Sultan (HB IX) tidak pernah memperhitungkan dah tidak pernah mengatakan resminya," jelasnya.

Akhirnya melalui siasat ini, Sultan HB IX berhasil mencegah rakyatnya dipekerjakan sebagai romusha di daerah lain, sehingga mereka tetap tinggal di Yogyakarta. Selanjutnya, cita-cita leluhur Mataram untuk menyatukan Sungai Progo dan Opak berhasil terwujud.

"Untuk (jumlah pekerja Selokan Mataram) kita tidak pernah mendata itu," pungkas Jatiningrat. (sip/mbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads