Di Desa Adat Kemiren sendiri tinggal 9 orang pembaca Lontar Yusuf. Situasi ini mendorong warga setempat untuk melakukan regenerasi dengan melibatkan para generasi muda.
Ada sekitar 20-an anak muda yang mengikuti pelatihan membaca Lontar Yusur ini. Awalnya mereka mendengarkan lantunan bait demi bait tulisan kuno Lontar Yusuf yang dibacakan Adi Purwadi, penggiat tradisi pembacaan Lontar Yusuf dengan seksama. Lantas mereka menirukan suara dan cengkok seperti yang dilantunkan Adi.
![]() |
"Dari 29 orang tinggal 9 orang. Sekarang juga ada kelompok anak muda selain yang kita latih. Namun kita masih kurang untuk meregenerasi anak muda untuk menjaga tradisi ini," ujarnya kepada detikcom di Sanggar Rumah Budaya Osing (RBO) di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Senin (10/9/2018).
Adi menjelaskan, maosan atau membaca Lontar Yusuf bukan hanya tradisi biasa tetapi juga memiliki dimensi spiritual, sehingga kegiatan ini patut dilestarikan.
Namun diakui pria yang akrap disapa Kang Pur ini, maosan Lontar Yusuf tak ubahnya laku spiritual. Untuk itu sebelum membaca pun terdapat sejumlah aturan yang harus dipatuhi.
"Jadi ada aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar saat membacanya. Ada pula cengkok khusus yang dilantunkan tidak boleh salah," tuturnya.
Aturan yang dimaksud Kang Pur di antaranya mengawali maosan dengan selamatan yang menyuguhkan jenang merah, tumpeng serakat, dan sego golong. "Masing-masing suguhan ini tidak sekadar bahan makanan. Tapi, memiliki makna tersendiri yang bertujuan sebagai doa," jelas Pur.
Mocoan Lontar Yusuf memang biasanya digelar sebagai bentuk doa dan ucapan syukur yang dilantunkan agar kegiatan di desa tersebut lancar seperti bersih desa.
"Seperti halnya adat Ider Bumi di Kemiren atau Seblang Bakungan, pada malam sebelum digelar adat tersebut, diawali dengan pembacaan Lontar Yusuf," ungkap Kang Pur.
![]() |
Pur menambahkan pelatihan digelar dua minggu sekali di Desa Adat Kemiren. Pesertanya tidak hanya dari Kemiren, melainkan desa-desa lain di mana tradisi ini dilakukan, dan dari berbagai latar belakang komunitas. Keterlibatan mereka diharapkan bisa menjadi penggerak maosan Lontar Yusuf di kemudian hari, di masing-masing komunitas dan daerahnya.
Para peserta pun menyambut gembira kegiatan tersebut. Mereka merasa semakin kenal dengan tradisi dan budaya daerahnya. "Selama ini saya hanya mendengar, tanpa mengetahuinya apa itu Lontar Yusuf. Apalagi cara membacanya," ungkap salah satu peserta dari Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, Arif Wibowo (20).
Hal yang sama juga disampaikan oleh Nur Holipah (19). Gadis yang berasal dari Giri ini mengaku sangat mengapresiasi pelatihan ini. "Walaupun ini tradisi kuno, tapi kami sebagai anak muda merasa nyaman untuk mempelajarinya. Ini hal baru yang cukup asyik," ujarnya.
Buku yang Lebih Menarik
Selain menggelar pelatihan pembacaan Lontar Yusuf, pembaruan naskah dan teks Lontar Yusuf juga dilakukan. Buku bertajuk "Lontar Yusuf Banyuwangi: Teks Pegon, Transliterasi, Terjemahan" pun ditulis oleh Wiwin Indiarti (39), seorang pegiat di Barisan Pemuda Adat Nusantara PD Osing.
Selain memuat keterangan singkat tentang Lontar Yusuf, Wiwin juga menyertakan teks lengkap Lontar Yusuf berikut transliterasi dan terjemahannya.
"Dengan buku ini, semua orang bisa mengakses Lontar Yusuf sehingga kemungkinan besar akan semakin banyak orang membacanya, mempelajarinya dan secara otomatis akan melestarikannya," harapnya.
![]() |
Wiwin mengaku mengumpulkan beberapa buku dan kumpulan Lontar Yusuf kuno, untuk dibersihkan kembali dan disusun sesuai dengan urutannya.
"Abjad dalam tulisan pegon kuno itu sebelumnya terlihat usang ketika kita bersihkan. Selanjutnya kita terjemahkan. Sering memang tidak sesuai dengan terjemahan dari Bahu Sastra Jawa, tapi setelah dirunut dengan kalimat selanjutnya bisa diartikan," terangnya.
Menurut Wiwin, buku ini diterbitkan untuk menyemangati generasi muda agar mau belajar mocoan Lontar Yusuf. Apalagi saat ini, pembaca Lontar Yusuf semakin tahun semakin berkurang.
"Ini adalah bagian dari kaderisasi. Kita ingin melestarikan budaya khas masyarakat Suku Osing ini kepada generasi milenial," tambahnya.
Lontar Yusuf sendiri merupakan tradisi yang berkembang di tengah masyarakat Osing, yaitu tradisi membacakan kisah hidup dan perjuangan dari Nabi Yusuf yang tertulis dalam sebuah naskah kuno. Isinya sarat dengan nilai-nilai dakwah keislaman. Ditengarai tradisi ini telah berkembang ratusan tahun silam di bumi Blambangan. Namun seiring dengan proses Islamisasi yang berlangsung sejak abad 16, kegiatan mocoan Lontar Yusuf pun dilakukan sebagai pengiring ritual tradisi. (lll/lll)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini