Seperti halnya yang dilakukan pengrajin tempe dari Kelurahan Sukomulyo, Kabupaten Lamongan bernama Rokhim ini.
"Bahan baku kami, terutama kedelai dari kedelai impor dan saat ini harganya sudah naik menjadi Rp 7.500 perkilo dari harga sebelumnya yang hanya Rp 6.800 perkilo," kata Rokhim kepada wartawan di lokasi usahanya, Rabu (5/9/2018).
Selain itu, pasar saat ini juga sedang sepi. "Kalau biasanya saya bisa menghabiskan hingga 2 kuintal kedelai, sekarang hanya habis sekitar 1,5 kuintal perharinya," papar Rokhim yang menyebut tempe produksinya hanya dijual di sekitar Lamongan kota saja.
Rokhim menambahkan, menaikkan harga jual tempe juga dirasa tidak mungkin karena hal ini tentu tidak dikehendaki pasar atau konsumen. "Kalau kami menaikkan harga, otomatis tempe kami malah tidak akan laku di pasaran," terangnya.
Saat ini, Rokhim mengaku menjual tempe dengan harga Rp 30 ribu perlembar dengan ukuran perlembar sekitar 1 meter lebih.
Menanggapi hal ini, Kepala Disperindag Lamongan, Muhammad Zamroni mengakui saat ini para pengrajin tempe di Lamongan terpaksa mengurangi ukuran tempe karena imbas kenaikan harga bahan baku, kedelai yang merupakan produk impor.
"Iya mas, kedelainya impor, sebagai imbas dari Dollar yang jelas akan mempengaruhi harga tempe atau tahu," katanya secara terpisah.
Untuk mengatasi persoalan ini, Zamroni pun menyarankan agar para pengrajin tempe memanfaatkan kedelai lokal.
Kendati demikian, menurut Rokhim, mereka tidak bisa asal berganti produsen kedelai karena dapat mempengaruhi kualitas tempe yang dihasilkan. Jika ada yang berubah, pelanggan pun tak mau membeli dan bisa-bisa beralih ke pengrajin tempe lainnya.
"Kedelai ini saya dapatkan dari wilayah Gresik dan kadang langsung dari Surabaya," ujarnya. (lll/lll)