"Ketika ini dijarah (proyek dikorupsi) oleh wakil rakyat, di dalam proses Pemilu dia mengalami beban moral. Misalnya ada riwayat yang buruk, yang dia menjadi napi korupsi dan dipilih lagi. Ini lah tragedi demokrasi," kata Busro saat membuka diskusi publik bertema Pemilu Berintegritas, di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jl Menteng Raya, Jakarta Pusat, Selasa (4/9/2018).
Bukan hanya tragedi demokrasi, menurut Busyro, justru rakyat dikorbankan bila mantan napi koruptor kembali terpilih.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Busyro menyayangkan adanya perbedaan sikap antara KPU dan Bawaslu terkait aturan mantan napi koruptor dilarang nyaleg. Seharusnya, dua penyelenggara pemilu itu memiliki visi yang sama.
"KPU dan Bawaslu harusnya menjadi lembaga yang visi dan misi yang substansinya sama, tapi kali ini ada persoalan putusan atau aturan KPU yang kemudian oleh Bawaslu ada keputusan sendiri tentang napi koruptor yang mencalonkan dalam Pemilu kepala daerah dan oleh Bawaslu lolos," kata Busyro.
Dia menilai saat ini demokrasi menjadi semakin liberal dan transaksional. Bila demokrasi transaksional terjadi, dia khawatir akan menghasilkan pemimpin yang tak berintegritas.
"Ketika demokrasi transaksional menghasilkan wakil rakyat dan pejabat yang mengalami krisis sebagai pemimpin, maka dampaknya rakyat menerima pemimpin yang tidak berintegritas," ujar mantan pimpinan KPK itu.
Sebelumnya, Bawaslu daerah meloloskan eks koruptor nyaleg, termasuk M Taufik, yang kembali maju di DPRD DKI. Hingga Senin (3/9) lalu total ada 12 eks napi koruptor yang diloloskan menjadi bakal calon legislatif. (yld/idh)