"Ini didasarkan pedoman rumah tangga MUI Pasal 1 ayat 6 butir F yang berbunyi jabatan ketum dan sekretaris umum tidak boleh dirangkap dengan jabatan politik di eksekutif dan legislatif serta pengurus harian parpol," kata Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin di kantor MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Rabu (29/8/2018).
Din mengatakan keputusan rapat MUI itu diambil berdasarkan pedoman rumah tangga MUI Pasal 1 ayat 6 butir F. Mengenai posisi Ketum MUI Ma'ruf Amin yang maju sebagai cawapres, MUI berpendapat Ma'ruf Amin saat ini tidak perlu mundur karena dia belum pasti menjabat wakil presiden di periode mendatang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Din mengatakan di MUI tidak ada aturan atau istilah 'nonaktif' dari Ketua MUI. Diketahui, Ma'ruf Amin sudah mengajukan status nonaktif sebagai Ketum MUI.
"Memang dalam ketentuan organisasi MUI tidak diatur istilah nonaktif tapi kita menghargai berada dalam posisi nonaktif tapi harus menjaga marwah organisasi tidak boleh memakai organisasi untuk kepentingan politik," imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Prof Didin Hafihdudin menjelaskan pedoman rumah tangga MUI Pasal 1 ayat 6 butir F. Pedoman itulah yang digunakan dalam persoalan pencapresan Ma'ruf Amin.
"Berdasarkan ketentuan keorganisasian MUI, khususnya pedoman rumah tangga ayat satu, yang menjelaskan posisi rangkap jabatan, maka Ketum MUI Prof Ma'ruf Amin harus mengamalkan perintah organisasi untuk melepaskan jabatan sebagai Ketum MUI ketika menjadi Wakil Presiden RI," kata Didin.
"Namun, demi menegakkan marwah organisasi MUI sebagai pelayan umat dan teman atau mitra pemerintah harus berada di atas dan untuk semua golongan dan elemen umat Islam dan bangsa Indonesia, maka seyogianya organisasi MUI dan posisi-posisi di MUI tidak digunakan untuk kepentingan politik kekuasaan yang dapat memecah belah umat Islam dan Indonesia," sambungnya. (dnu/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini