"Mengatakan suara azan terlalu keras menurut pendapat saya bukan penistaan agama. Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat," ujar Robikin dalam keterangannya, Rabu (22/8/2018).
Robikin meminta pasal 156 dan 156a KUHP tidak dijadikan pasal karet oleh penegak hukum. Ia berpendapat, pernyataan Meiliana semestinya dijadikan kritik yang konstruktif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya tidak melihat ungkapan 'suara azan terlalu keras' sebagai ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu. Sebagai muslim, pendapat seperti itu sewajarnya kita tempatkan sebagai kritik konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural," jelas Robikin.
Sebelumnya, seperti dilansir dari DW News, Meiliana dianggap terbukti menghina agama Islam setelah mengeluhkan volume suara azan yang dinilainya terlalu keras. Ia dilaporkan menangis ketika hakim Wahyu Prasetyo Wibowo, membacakan putusan pada Selasa (21/8).
Perkara berawal dari keluhan Meiliana terhadap volume pengeras suara masjid yang dinilainya terlalu keras. "Kak tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid itu kak, sakit kupingku, ribut," ujar terdakwa kepada tetangga seperti yang dibacakan dalam tuntutan jaksa. Setelahnya pengurus masjid sempat mendatangi rumah Meiliana.
Namun tanpa diduga pertemuan tersebut malah membuat keadaan semakin meruncing. Keluhan terdakwa ditanggapi masyarakat muslim Tanjung Balai dengan membakar 14 vihara umat Buddha. Pihak keluarga sempat meminta maaf. Namun upaya rekonsiliasi bertepuk sebelah tangan.
Simak Juga 'Gara-gara Nge-Remix Azan, DJ Ini Terancam Dibunuh':
(dkp/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini