Konon selama tiga bulan, Panglima Besar Jenderal Soedirman memimpin gerilya di daerah ini. Menurut catatan, ini adalah masa terlama Sang Jenderal singgah di suatu wilayah selama perang gerilya berlangsung.
"Penghargaan terhadap sejarah bangsa itu perlu. Nah, saya berpikir andilnya perang gerilya di Pacitan ini di bawah pimpinan Jenderal Soedirman cukup besar. Dan terlama beliau di Dusun Sobo, Desa Pakisbaru itu," ungkap sejarawan asli Pacitan, Imam Haryono (77) saat ditemui detikcom di rumahnya Jalan Pattimura, Kamis (16/8/2018).
Ketua Dewan Harian Cabang (DHC) Badan Pembudayaan Kejuangan 45 (BPK45) tersebut menyebutkan sedikitnya ada 2 irisan sejarah Pacitan yang berkenaan dengan perang gerilya. Pertama, perjalanan pasukan Soedirman saat melancarkan perlawanan mulai dari ujung timur Pacitan hingga perbatasan Jawa Tengah.
Sesuai hasil penelusuran serta catatan sejarah, Soedirman mulai masuk wilayah Pacitan di Desa Klepu, Kecamatan Sudimoro. Dari wilayah yang berbatasan dengan Trenggalek itu, ia lantas keluar masuk hutan dan pemukiman.
Setelah Sudimoro, beberapa kecamatan yang dilewati pasukan Soedirman adalah Tulakan, Tagalombo, Bandar, dan berakhir di Nawangan. Jarak tempuhnya mencapai 40 kilometer dengan medan menanjak khas pegunungan.
Jalur itu lantas dijadikan rute gerak jalan Napak Tilas Rute Gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman. Finish-nya di pelataran Monumen Panglima Soedirman, di puncak bukit Gandrung, Desa Pakisbaru.
"Pelaksanaannya setiap tahun genap," terang tokoh yang pernah menjadi anggota DPRD kabupaten 4 periode dan 1 periode anggota DPRD Provinsi Jatim ini.
![]() |
Masih di tahun yang sama, lanjut Imam, kontak fisik juga sempat terjadi di wilayah barat Pacitan. Lokasinya di Desa Dadapan, Kecamatan Pringkuku.
Di jalur penghubung Pacitan dengan Yogyakarta dan Surakarta terebut, sejumlah sukarelawan republik berusaha menghadang pasukan Belanda yang hendak masuk ke Kota Pacitan. Pertempuran pun tak terhindarkan. Sejumlah anggota laskar juga dilaporkan gugur.
Tempat terjadinya pertempuran itu kelak dibangun monumen Palagan Tumpak Rinjing. Sebutan itu mengacu dari kondisi dusun yang berada di lereng pegunungan kapur dan jalan berkelok-kelok. Belakangan kompleks bangunan di tepi jalur antarprovinsi juga menjadi obyek wisata sejarah serta ajang pendadaran untuk kegiatan tertentu.
"Setiap tahun ganjil dilaksanakan kegiatan lomba gerak jalan Palagan Tumpak Rinjing. Hal ini bagian dari upaya menggugah semangat bela negara," jelas Imam.
Untuk mengenang peranan Kota Pacitan selama perang gerilya, pria yang juga pernah menjadi guru Susilo Bambang Yudhoyono di bangku SMA itu mengaku sudah beberapa kali mengusulkan pencantuman sebutan 'Kota Gerilya' untuk daerah di ujung barat daya Jatim ini, termasuk di antaranya pembuatan gapura di pintu masuk dari arah barat.
Imam berharap sebutan Kota Gerilya akan serta merta mengingatkan besarnya jasa para pejuang bertaruh nyawa mempertahankan kemerdekaan.
Meski wacana itu belum kunjung terwujud, namun kakek 4 cucu tersebut mengaku tak surut menebar semangat kejuangan melakui lembaga yang dipimpinnya.
"Pembangunan fisik memang penting tetapi pembangunan mental generasi juga sama-sama penting. Keduanya harus seiring sejalan. Saya kira ini sesuai dengan program Revolusi Mental yang digaungkan pemerintah," tutupnya. (lll/lll)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini