Namun demikian, relasi ulama dan umara tidak selalu baik, bergandengan tangan, bersisian bahu. Ulama, dengan kapasitas keilmuan dan akhlaknya yang (secara teoretis harusnya) terpuji, diposisikan secara kultural sebagai guru bangsa, penasihat umara, pemimpin spiritual umat. Ulama, sebagai ahli waris Nabi, menjadi tempat umat berkembali dalam keluh kesah dan mencari kedamaian melalui tuntunan spiritual menuju kebahagiaan sejati. Umara, di sisi lain, adalah pihak yang bertanggung jawab atas pengelolaan negara dan bangsa, dengan kepemilikan kekuasaan politik untuk menetapkan kebijakan-kebijakan. Idealnya, umara yang baik adalah umara yang kebijakan-kebijakannya senantiasa sesuai dengan ideal-moral kalangan ulama; umara yang baik adalah mereka yang takzim kepada para ulama.
Walau kemudian kita tahu bahwa situasinya tidak selalu seideal itu. Ulama kadang dipolitisasi dan/atau didomestifikasi oleh umara, demi mensukseskan tujuan-tujuan politis yang belum tentu sejalan dengan ideal-moral Islam. Tidak jarang ulama dipenjara dan dihukum karena berseberangan dengan raja/sultan yang memerintah. Hal yang kemudian menumbuhkan sentimen negatif terhadap umara, memunculkan gagasan bahwa ulama yang baik adalah ulama yang tidak dekat dengan pemerintah, dan seterusnya. Dapat dipahami memang mengingat ideal-moral ulama kadang tidak selalu dapat diakomodasi oleh dinamika politik praktis yang lebih cenderung Machiavellis ketimbang ala Plato dalam Republic.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jokowi menjadi tokoh antagonis, utamanya, bagi kalangan 212 yang meyakini bahwa Pemimpin Besar mereka, Habib Rizieq, dikriminalisasi oleh rezim Jokowi sebagai 'balas dendam'. Sedangkan kita tahu dalam pertarungan wacana, mereka kerap mengatasnamakan diri umat Islam Indonesia, mengatasnamakan ulama, walau yang terang-benderang mendukung mereka juga tidak banyak. Tetapi, ketika diskursus yang dibangun telah demikian masif, lama-kelamaan wacana tersebut dianggap sebagai kebenaran, setidaknya bagi sebagian orang. Memang ada banyak yang dapat dikritisi dari Jokowi, tetapi fokus senantiasa diarahkan pada pengkafiran dan penganti-Islaman.
Di sini, kita bisa melihat bagaimana relasi power umara dan ulama dipertarungkan. Umat seolah-olah diminta untuk memilih antara umara yang 'zalim' atau ulama yang 'selalu benar'. Dalam hal ulama, MUI dijadikan sebagai simbol entitas tunggal keulamaan. Tidak heran ketika, dalam proses 'mengadili' Ahok, muncul gerakan GNPF-MUI. Singkat kata: MUI dihadap-hadapkan dengan pemerintah. Menariknya, kalau kita berkaca ke masa lalu, MUI justru mula-mula dihadirkan oleh Orde Baru sebagai bentuk domestifikasi atas ulama dan umat; MUI sebagai khadimul umara (pelayan pemerintah). Berlanjut pada pemerintahan B.J. Habibie.
Barulah pada masa Gus Dur, MUI mengubah status dirinya menjadi independen dan memiliki kekuasaan monopolistik atas label halal dan haram, dengan fatwa mereka sering dianggap sebagai kewajiban mutlak semutlak ayat suci al-Qur'an. Dalam beberapa hal, tupoksi MUI juga overlapping dengan Kementerian Agama, tetapi tidak apa-apa, toh bangsa kita sudah terbiasa dengan birokrasi yang super kompleks dan jenjang area tanggung jawab yang beririsan satu sama lain. Hanya, singkatnya: MUI kemudian diposisikan sebagai simbol kekuasaan tertinggi organisasi Islam; di atas NU, di atas Muhammadiyah, dan lain-lain.
Untuk meredakan ketegangan dan mengklarifikasi tuduhan anti-Islam tersebut, Jokowi merapat ke Nahdlatul Ulama, mendekat kantong-kantong kiai di pesantren. Jokowi sering tampak hadir dalam acara-acara keagamaan baik yang diselenggarakan oleh organisasi Islam maupun oleh perkumpulan tarekat. Istana Presiden kemudian beberapa kali disulap menjadi ajang doa bersama, istighosah, dan yang semisalnya. Jokowi merangkul kalangan santri dengan menghadiahi libur nasional bagi hari santri dan opsi menteri pesantren yang sampai sekarang belum terwujud.
Dalam proses tersebut, Kiai Ma'ruf Amin, Ketua MUI sekaligus Rais Syuriah PBNU, berpindah haluan. Ia mula-mula berada di garda terdepan yang berkontribusi dalam memenjarakan Ahok, tetapi selepas berada di lingkaran istana menjadi salah satu yang membela Rahmawati dalam kasus "puisi ibu konde". Tak pelak lagi perubahan tersebut membuat Kiai Ma'ruf Amin dicaci-maki. Dan, dalam banyak hal kemudian memperlihatkan unsur politis dalam Aksi Bela Islam. Bahwa ulama yang diulamakan hanya ulama yang sesuai dengan ambisi politis dan kepentingan yang diusung.
Menjelang Pilpres, Kiai Ma'ruf Amin digandeng sebagai cawapres oleh Jokowi. Kita tahu narasi yang dibangun: dwitunggal relasi kekuasaan politis dan kultural. Seolah-olah ingin menegaskan bahwa masa depan umat ada di tangan yang aman, karena umara yang berwenang akan senantiasa dibimbing secara langsung oleh ideal-moral sang kiai. Walau kita sadar semua itu bukannya tanpa kritik dan persoalan. Kita tahu bahwa isu Indonesia bukan semata religiusitas dalam pemahaman yang sempit, tetapi juga isu-isu anak muda milenial. Pun Kiai Ma'ruf Amin, walau sudah menjadi bagian dari BPIP, tetap dianggap sebagian kalangan cukup konservatif dalam pendekatannya terhadap keberagaman.
Irfan L. Sarhindi pengasuh Salamul Falah, associate researcher Akar Rumput Strategic Consulting, alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini