Bamsoet menjelaskan, sebagai sebuah bangsa, Indonesia mempunyai akar sosiohistoris yang kuat. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, misalnya, menjadi titik kepeloporan pemuda dalam revolusi, yang menyatakan bertumpah darah satu, berbangsa satu, menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.
"Usai Proklamasi 17 Agustus 1945, pluralisme semakin menjadi kekuatan utama kita dalam mengisi dan mempertahankan kemerdekaan. Lantas kenapa di era milenium ini kita justru meninggalkan pluralisme? Kita seperti lupa akar sejarah bangsa yang majemuk," ujar Bamsoet dalam keterangan tertulis, Senin (13/8/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dirinya pun mengingatkan bahwa pluralisme adalah kekuatan utama yang membawa Indonesia mencapai kemerdekaan.
"Padahal kemajemukan inilah yang sejak dulu menjadi kekuatan utama kita, baik dalam melawan penjajah maupun dalam mengisi kemerdekaan," lanjutnya.
Saat menjadi narasumber 'Bincang Kebangsaan', Bamsoet mengaku tak habis pikir, hanya karena berbeda haluan politik, banyak pihak lantas mengorbankan persaudaraan. Akibatnya, kebinekaan dalam bahaya. Semua orang cenderung merasa paling benar.
"Jika kita lihat kehidupan di dunia maya, baik itu Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, Line, grup WhatsApp, maupun berbagai platform lainnya, terjadi perang politik secara terbuka menggunakan isu SARA sebagai senjatanya," ungkapnya.
"Masyarakat diadu domba dan menjadi korban. Elite politik bukannya meredam, tapi malah tak jarang ikut 'menyiramkan bensin' yang memperbesar api kebencian. Ini sangat mengerikan sekali. Apa kita mau seperti ini terus?" lanjutnya.
Dia menjelaskan kehidupan politik saat ini porak-poranda. Tidak sedikit dari kaum terdidik, pejabat publik, hingga rakyat mulai terprovokasi arus propaganda politik dan berita hoax yang menyesatkan.
"Sendi berbangsa dan bernegara terancam punah karena kerapuhan mental. Tak ayal, publik pun teriak lantang: Indonesia darurat intoleransi. Dalam situasi inilah sebaiknya kita membaca ulang Indonesia agar tak tercerai-berai menjadi kepingan," ungkapnya.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini juga menerangkan membaca ulang Indonesia adalah melawan arus politik identitas yang kini semakin merebak. Menurutnya, narasi kebangsaan yang bersifat toleran, terbuka, dan menghargai perbedaan harus terus tumbuh dan berkembang.
"Membaca Indonesia hari ini pada dasarnya adalah bagaimana menyebarluaskan nilai-nilai Pancasila ke ruang publik secara masif, dengan memanfaatkan ruang maya dan media-media kreatif. Pancasila sebagai perekat harus terus kita rawat dan jaga untuk membendung gelombang politik identitas yang mengganggu rasa kebangsaan," tegasnya.
Lebih lanjut, Wakil Ketua Kadin ini menegaskan DPR akan terus melakukan counter-narrative terhadap setiap gagasan dan aksi yang mengancam pluralisme. Dengan demikian, spirit nilai-nilai Pancasila sebagai bagian dari narasi kebangsaan akan terus dibumikan.
"Mari jaga bangsa dan negara kita sebaik mungkin. Jangan khianati nenek moyang yang sudah menghadirkan kedamaian di bumi pertiwi. Kita punya tugas mulia memberikan teladan sekaligus mewariskan Indonesia yang berkeadaban kepada para anak-anak kita. Jangan biarkan hasrat politik segelintir orang merobek 'Merah Putih' yang kita cintai," pungkas Bamsoet. (mul/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini