Direktur Pencapresan PKS Suhud Aliyudin mengatakan, dalam terminologi keilmuan, ada banyak istilah soal gerakan Islam. Dari reformis, revitalis, fundamentalis, hingga post-Islamis. Sandi, kata Suhud, masuk kategori terakhir.
"Fundamentalis sering juga disebut kelompok Islamis. Kemudian ada terminologi post-Islamis, post-Islamisme. Kalau fundamentalis atau Islamis itu kan cenderung menampakkan keislaman itu beserta dengan simbol-simbol. Jadi pakai jubah, pakai apa. Ada Islam, Islamiyalah. Perumahan Islam. Pokoknya serba ada," ujar Suhud, Senin (13/8/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Orang-orang post-Islamis, kata Suhud, tak mengedepankan simbol Islam, meski penting. Mereka fokus di substansi.
"Substansi itu maksudnya dia tidak mementingkan simbol, artinya dia tidak harus pakai jubah tetapi nilai-nilai santri itu, nilai-nilai keislaman itu ada pada diri dia," ucap Suhud.
Merujuk istilah santri post-Islamis, Suhud mengatakan Sandi relatif memenuhi kriteria sebagai orang yang memenuhi karakter baik.
"Dia artinya jujur, relatiflah ya, relatif jujur, menghormati perbedaan, dia toleransi. Artinya, seseorang untuk menjadi baik itu tidak mesti harus orang pesantren, katakanlah begitu," tutur Suhud.
Menurut Suhud, orang yang tidak mengenyam pendidikan pesantren juga bisa memiliki nilai-nilai baik yang ada dan diajarkan di pesantren. Sandi memang tidak berasal dari pesantren, bahkan pernah bersekolah di SMA Pangudi Luhur, sekolah Katolik. Ada kemungkinan juga Sandi tidak bisa memahami kitab gundul. Namun Suhud menyebut karakter Sandi sudah seperti seorang santri, santri post-Islamisme.
"Tetapi karakternya, moralitasnya mencerminkan seorang santri. Makanya Kang Iman menyebut santri post-Islamis. Artinya, memang orang Islam yang lebih mementingkan substansi ketimbang simbol-simbol. Simbol penting, tetapi yang lebih penting adalah substansi," jelas Suhud.
Tonton juga video: 'Minggu Depan, Gerindra-PKS Bahas Calon Wakil Gubernur DKI'
(gbr/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini