"Kami menilai pengaturan pelibatan TNI melalui Perpres kurang tepat, karena sepatutnya pengaturan tentang perbantuan TNI diatur dalam UU, bukan melalui Perpres," ucap peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko S Ginting dalam konferensi pers yang digelar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Puri Imperium Office Plaza, Jalan Kuningan Madya, Jakarta Selatan, Jumat (3/8/2018).
Miko mewakili Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Imparsial, KontraS, YLBHI, LBH Jakarta, PSHK, dan Setara Institute. Miko mengatakan pembentukan Perpres terkait hal itu akan lebih tepat jika dibentuk UU Perbantuan terlebih dahulu sebagai payung hukum dari aturan tersebut yang disebutnya pula menjadi kewajiban mengingat Ketetapan Tap MPR Nomor 7/2000 tentang peran TNI dan Polri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pembentukan Perpres akan jauh lebih tepat jika diawali dengan membentuk UU Perbantuan sebagai payung hukum aturan main TNI dalam operasi militer selain perang," kata Miko.
"Perpres tersebut harus memuat prinsip-prinsip dasar yang mengatur dalam situasi apa dan dalam kondisi apa TNI dapat terlibat. Serta hal apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan TNI dalam penanggulangan terorisme," imbuh Miko.
Terlepas dari itu, Miko menilai pelibatan TNI dalam penanganan terorisme harus menjadi pilihan terakhir atau last resort bila seluruh aparat keamanan tak lagi mampu mengatasi. Namun, ia melanjutkan, hal itu juga perlu perintah dari otoritas politik dan hanya bersifat sementara.
"Kami menilai, pelibatan militer dalam mengatasi terorisme di dalam negeri merupakan last resort setelah semua institusi keamanan yang ada tidak mampu lagi mengatasi ancaman terorisme," ucap Miko. (yas/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini