Dari kriteria-kriteria itu memang wajar ketika beberapa mubalig akhirnya merasa tidak pantas, dan meminta mundur disebut namanya, yang implikasinya memang tidak bisa dibilang tidak rumit bagi kehidupan sosial keagamaan.
Negara dan agama memang tidak bisa dipisahkan. Negara membutuhkan agama, begitu pula agama membutuhkan negara. Negara (baca: konstitusi) hidup dari basis-basis atau nilai agama. Salah satu hal yang paling penting bahwa anggaran pendidikan kita di-plot minimal 20% dari APBN, dan tujuan pendidikan nasional itu untuk membangun manusia Indonesia "beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (pasal 31 ayat (3) dan (4) UUD 1945).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agama juga butuh negara untuk sebuah proses pelembagaan kembali oleh negara, begitu pula sebaliknya negara butuh ukuran-ukuran peradaban masyarakat untuk kemudian dilembagakan dalam bentuk undang-undang, yang salah satu sumbernya adalah nilai agama [pasal 28 J ayat (2) UUD 1945].
Berkaitan dengan rujukan 200 mubalig di atas, alasan negara yang yang mungkin kita bisa baca bahwa ada kebutuhan agar ada nilai kebangsaan yang bisa diikutkan dalam setiap konten ceramah. Ini yang mungkin dirasakan kebutuhan riil negara terhadap seluruh mubalig. Namun, cara menjadikan 200 nama mubalig menjadi rujukan oleh Kemenag bukanlah cara yang tepat bagi negara. Salah satu alasannya bahwa tidak ada dasar bagi negara untuk mengatakan bahwa para mubaligh ini berilmu paling tinggi sehingga masuk dalam rujukan.
Pemerintah tidak didesain untuk menilai ilmu warga negara, siapa yang paling mumpuni dalam suatu bidang ilmu bahkan dalam ilmu ketatanegaraan sekalipun. Pemerintah tidak lebih mumpuni dari yang lainnya, apalagi dalam ilmu agama. Oleh karenanya, alasan yang paling bijaksana adalah negara butuh pertolongan sosialisasi nilai kebangsaan yang dibutuhkan melalui tausiyah-tausiyah getar jiwa dari para mubalig kita.
Mekanisme ketatanegaraan sebenarnya sudah ada, namun bukan rekomendasi 200 mubalig melainkan pemerintah berhubungan dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia), karena memang MUI dihadirkan sebagai penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional, termasuk di dalamnya nilai kebangsaan yang dikehendaki pemerintah.
Biarkanlah MUI yang mengkomunikasikan hal tersebut kepada para ulama, umara, dan masyarakat, dan bagaimana cara terbaik pelaksanaannya.
A Irman Putra Sidin ahli Hukum Tata Negara, advokat , founder Law Firm Sidin Constitution A Irmanputra Sidin & Associates
(mmu/mmu)