Syafruddin merupakan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004. Saat konferensi pers pada April 2017, Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan menyebut Syafruddin mengusulkan untuk disetujui KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) perubahan atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.
Obligor yang dimaksud yaitu Sjamsul Nursalim yang disebut sebagai pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Hasil restrukturisasi adalah Rp 1,1 triliun dinilai sustainable dan ditagihkan kepada petani tambak, sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi sehingga seharusnya masih ada kewajiban obligor setidaknya Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data itu kemudian diperbarui KPK. KPK menyebut dalam audit BPK terbaru, nilai kerugian keuangan negara dalam kasus ini menjadi Rp 4,58 triliun. Nilai itu disebabkan Rp 1,1 triliun yang dinilai sustainable, kemudian dilelang dan didapatkan hanya Rp 220 miliar. Sisanya, Rp 4,58 triliun, menjadi kerugian negara.
Sjamsul merupakan satu di antara deretan obligor BLBI. BLBI adalah program pinjaman dari Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah pemenuhan pembayaran kewajiban, kaitannya saat terjadi krisis moneter 1998. Setidaknya ada 48 bank komersil saat itu yang menerima kucuran BLBI. Bank-bank yang menerima BLBI tentu harus membayar kembali bantuan yang sudah diterimanya. Bila sudah membayar kewajiban itu, bank akan diberi surat pemenuhan kewajiban pemegang saham atau surat keterangan lunas (SKL).
Di sinilah letak masalahnya. SKL BLBI seharusnya diterbitkan manakala bank yang bersangkutan telah melunasi kewajibannya. Namun pada kasus BLBI yang melibatkan BDNI, SKL diterbitkan saat pemegang saham pengendali BDNI Sjamsul Nursalim disebut KPK masih punya kewajiban yang belum dibayarkan.
Kabar terakhir, berkas perkara Syafruddin segera dilimpahkan KPK ke penuntutan, untuk kemudian berlanjut ke persidangan. Total ada 69 saksi yang diperiksa KPK untuk melengkapi berkas perkara tersebut. Namun, Sjamsul Nursalim beserta istrinya, Itjih Nursalim, belum diperiksa. Keduanya diketahui berdomisili di Singapura sehingga membatasi kewenangan KPK untuk memanggil keduanya.
"Di antaranya ada dari pihak swasta yang cukup banyak, lebih dari 30 orang, seingat saya. Kemudian ada pejabat dan pegawai dari PT Gajah Tunggal yang kita periksa. Ada dari KKSK, dari notaris juga ada, dan dari unsur-unsur yang lain. Pengacara juga ada kita periksa untuk perkara ini," tutur Kabiro Humas KPK Febri Diansyah beberapa waktu lalu. (dhn/fjp)