Kepemimpinan Visioner Mahathir Mohamad
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kepemimpinan Visioner Mahathir Mohamad

Jumat, 11 Mei 2018 11:20 WIB
Abdul Muslim
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Mahathir Mohammad (Foto: REUTERS/Lai Seng Sin)
Jakarta -

Fisik boleh tua tetapi kemampuan beroikir tetap muda. Di usia 92 tahun, Mahathir Mohamad masih mampu memimpin partai gabungan oposisi untuk menenggelamkan kepemimpinan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak. Pandangan visioner tokoh yang pernah memimpin Malaysia selama 22 tahun ini menjadi petunjuk bahwa usia bukan masalah untuk berkarya demi bangsa.

Sosok Mahathir memang tidak mudah dilupakan orang. Style kepemimpinannya yang terbuka menyampaikan tentang apapun membuat Malaysia bisa berjaya dan disegani di dunia hingga sekarang. Gaya memimpinnya memang mempunyai karakter tegas dan disiplin. Sekali berbicara A ya seterusnya. Teguh pada prinsipnya inilah yang membuat dia disegani dan dikagumi sehingga pada saat sebagian orang awalnya meragukan kemampuan partai koalisi dalam menghadapi Partai UMNO yang pernah dipimpinnya, berhasil dibuktikannya meski di usia yang sudah senja.

Keberanian Mahathir memang tidak diragukan. Hal itu tercermin dari pemikiran yang dituangkan dalam karyanya yang berjudul A New Deal of Asia. Dia secara lantang menyampaikan bahwa Asia tidak boleh dibentuk dengan menggunakan parameter dari bangsa Barat. Menurutnya Asia mempunyai nilai dan kekuatan tersendiri. Dia dengan tegas menyatakan bahwa elemen dan nilai Melayu-Islam merupakan elemen dasar ide pemerintahan Malaysia saat dipimpinnya. Nilai yang dimaksudnya adalah mendahulukan kepentingan kelompok dan keluarga di atas kepentingan pribadi, dan menghormati orang tua. Dengan norma tersebut bisa memberi panduan bagi bangsa Melayu untuk maju dan sederajat dengan bangsa di dunia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sosok Mahathir memang dikenal berani dan tegas dalam menyampaikan sesuatu. Hal itu bisa dilihat dari kritikan pedasnya agar bangsa Melayu tidak boleh tertinggal dengan bangsa lain. Dia dengan lugas juga menyampaikan bahwa budaya malu yang tidak pada tempatnya justru membuat orang Melayu kalah bersaing dengan bangsa lainnya. Dia juga tidak segan menilai rendahnya disiplin orang Melayu menjadi faktor penghambat.

Dalam buku pertama yang berjudul The Malay Dilemma (1970) secara lugas dia berpendapat bahwa orang Melayu bisa sukses jika mengamalkan nilai progresif dan meninggalkan tradisi lama yang menghambat seperti tidak berani berterus terang. Sedangkan dalam bukunya yang bertajuk Kebangkitan Semula Asia (1999) Mahathir berpendapat bahwa nilai Asia yang pertama dan terpenting menurutnya harus mengutamakan masyarakat dan keluarga. Memenuhi tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat adalah lebih diutamakan daripada menuntut manfaat individu.

Nilai itulah yang menjadi pendorong kuat Mahathir untuk berbalik haluan mendukung Anwar Ibrahim yang pernah didongkelnya dari kursi Wakil Perdana Menteri dengan tuduhan kasus sodomi. Keberanian dan ketegasan dalam mengambil keputusan membuat politikus kawakan ini mampu memahami keinginan masyarakat Malaysia yang pecah akibat isu korupsi yang melingkupi Perdana Menteri Razak. Meski awalnya partai penguasa yaitu UMNO merasa tetap yakin mampu mengalahkan pesaingnya namun kemampuan meyakinkan rakyatnya masih kalah dengan sosok Mahathir.

Bisa disebut sosok Mahathir ini mempunyai kemiripan dengan pemimpin Orde Baru Soeharto. Ya, Mahathir dengan Soeharto menyukai kestabilan untuk menjamin keberlangsungan pembangunan. Menurut Mahathir sikap hormat kepada penguasa wajib dilakukan untuk mendukung kestabilan pembangunan guna meningkatkan kemakmuran rakyatnya. Begitu juga dengan Soeharto dengan pilar kestabilan untuk mendukung sejumlah pembangunan yang terangkum dalam tahapan-tahapan pembangunan.

Pemikirannya tentang perlunya perubahan mental orang Melayu untuk bisa maju terangkum dalam bukunya The Way Forward (1998) yang menyatakan bahwa tanpa wujudnya reformasi dalam budaya tempatan, Dasar Ekonomi Baru (DEB) akan gagal. Menurutnnya untuk bisa menjadi bangsa unggul, maka bergantung kepada DEB serta struktur budaya dan nilai-nilai baru untuk bersaing dengan komuniti lain di peringkat antarabangsa. Untuk bisa berjaya dalam ekonomi menurutnya tidak akan terjadi tanpa ada perubahan dan penyesuaian dengan nilai baru. Orang Melayu hanya menjadi petani dan pedagang. (Sivamurugan, 2005; hal 45).

Pemikiran progresif lain Mahathir adalah orang Melayu harus mempunyai pedoman dalam menjalani tantangan. Dalam bukunya The Challenge (1986) Mahathir menjelaskan tiga aspek utama bagi orang Melayu menghadapi ujian yang berkembang di dunia modern, yaitu; pertama, menjadikan Islam sebagai sumber kekuatan untuk membangunkan orang Melayu. Kedua, orang Melayu harus memperbaiki sistem nilai budaya untuk mencapai kemajuan. Ketiga, disiplin dalam menjalankan organisasi.

Ya, kita sebagai bangsa Indonesia sudah seharusnya bisa mengambil nilai positif kepemimpinan visioner Mahathir Mohamad. Dia tidak silau dengan budaya Barat, tetapi berani mengambil risiko dengan mengambil nilai-nilai kearifan lokal yang bersumber dari budaya orang Melayu yang positif yaitu menghormati orang tua, dan mengutamakan kepentingan umum.

Revolusi mental juga menjadi bagian dari upaya Mahathir pada saat menjabat Perdana Menteri. Karena perubahan pola pikir dan mental menurutnya sangat penting dalam mengubah perilaku masyarakat Melayu. Revolusi mental yang sudah dijalankan Mahathir sejak dekade 70-an membawa dampak positif bagi Malaysia dewasa ini.

Abdul Azis Muslim alumnus Pascasarjana IAIN Kudus

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads