Definisi daerah perkotaan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah status suatu wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan yang memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan. Sedangkan kriteria wilayah perkotaan yaitu persyaratan tertentu dalam hal kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan yang dimiliki suatu desa/kelurahan untuk penentuan status wilayahnya.
Data BPS menunjukkan, pada 2015 terdapat sebanyak 72,9 persen penduduk Jawa Barat tinggal di daerah perkotaan. Penduduk yang tinggal di daerah perkotaan tersebut diproyeksikan meningkat menjadi 89,3 persen pada 2035. Gambaran data ini dapat mengindikasikan berjalannya pembangunan desa sehingga daerah perdesaan berubah status menjadi daerah perkotaan (reklasifikasi). Namun, bisa juga menggambarkan tingginya tingkat urbanisasi. Untuk itu membangun dengan data merupakan aspek krusial pada proses pembangunan desa. Baik sebagai bahan perencanaan maupun bahan evaluasi.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional menyampaikan bahwa urbanisasi di Jakarta dan Bandung akan semakin besar karena perkembangan di wilayah Bandung (Jawa Barat) sekarang lebih ke arah utara sedangkan di wilayah Jakarta lebih ke timur sehingga wilayah metropolitan Jakarta-Bandung akan bertemu, menjadi satu area megapolitan. Pada 2045, katanya, Indonesia akan mengalami pertumbuhan penduduk yang besar, dan peningkatan diprediksi mencapai 63,4 juta atau 24,7 persen. Kemudian sekitar 67,1 persen populasi akan tinggal di daerah perkotaan.
Jawa Barat merupakan provinsi dengan migran masuk terbesar di Indonesia. Berdasarkan data BPS, migran masuk risen (migrasi berdasarkan tempat tinggal lima tahun yang lalu) di provinsi Jawa Barat 2016 sebanyak 692.311 orang. Migran masuk risen terendah di propinsi Maluku Utara sebesar 18.344 orang. Demikian juga ditinjau dari migran masuk seumur hidup (migrasi berdasarkan tempat kelahiran), provinsi Jawa Barat masih terbesar di tingkat nasional yaitu sebanyak 4.593.236 orang, sedangkan terendah di provinsi Gorontalo sebanyak 67.799 orang.
Hal ini mencerminkan pola migrasi antarprovinsi yang masuk ke provinsi Jawa Barat. Jawa Barat masih menjadi wilayah favorit tujuan migrasi. Migran risen masuk Jawa Barat didominasi oleh kelompok umur 20-29 tahun yaitu sebanyak 38,59 persen. Proporsi terbesar kedua pada kelompok umur 30-39 tahun yaitu sebanyak 23,46 persen. Migran masuk pada kelompok umur produktif ini biasanya menyasar ke kota kota besar di provinsi Jawa Barat. Demikian pula, terjadinya migrasi antar kabupaten/kota di Jawa Barat yaitu migrasi dari perdesaan ke perkotaan menambah kontribusi meningkatnya jumlah penduduk daerah perkotaan di Jawa Barat.
Di samping itu, terjadinya reklasifikasi desa perdesaan menjadi desa perkotaan berkontribusi pula terhadap besarnya warga yang tinggal di daerah perkotaan. Pergeseran status perdesaan menjadi perkotaan ini tidak terlepas dari pembangunan perdesaan yang mulai membuahkan hasil. Apalagi sejak diterbitkannya Undang Undang No 6 Tentang Desa Tahun 2014, proses percepatan pembangunan desa mulai bergulir deras.
Kini desa menjadi subjek pembangunan. Pembangunan infrastruktur desa dan terbentuknya sumber pertumbuhan ekonomi desa menghambat arus urbanisasi. Untuk itu perlu terus diupayakan daya tarik desa sebagai sumber penghasilan yang layak. Hal ini sesuai dengan tujuan program Nawa Cita ketiga yang digagas Presiden Joko Widodo yaitu: Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Demikian juga di provinsi Jawa Barat, membangun Jawa Barat dari pinggiran menjadi prioritas.
Berdasarkan data BPS, jumlah desa/kelurahan di provinsi Jawa Barat pada 2010 sebanyak 5.880. Adapun jumlah perdesaannya sebanyak 3.221 atau sebesar 54,78 persen sedangkan perkotaannya sebanyak 2.659 (45,22%). Pada 2014 jumlah desa/kelurahan meningkat menjadi 5.962. Periode 2010-2014 di Jawa Barat terjadi peningkatan daerah perkotaan sebanyak 12 wilayah menjadi 2.671. Namun daerah perdesaan juga meningkat menjadi 3.291. Proporsinya berubah menjadi 55,20 persen daerah perdesaan dan sebesar 44,80 persen daerah perkotaan.
Tingkat perkembangan desa juga diukur dengan Indeks Pembangunan Desa (IPD). IPD dikembangkan oleh Bappenas dan BPS pada pertengahan 2015. IPD didasarkan pada hasil Pendataan Potensi Desa (Podes) 2014 sebagai rujukan indikator indikator utamanya. Terdapat lima dimensi untuk menghitung IPD yaitu; 1) pelayanan dasar, 2) kondisi infrastruktur, 3) aksesibilitas/ transportasi, 4) pelayanan publik dan, 5) penyelenggaraan pemerintahan. Kelima dimensi ini dijabarkan dalam 42 indikator penyusun indeks.
IPD Jawa Barat pada 2014 sebesar 66,45. Nilai ini di atas rata-rata IPD Nasional. Adapun hasil klasifikasi desa di Jawa Barat, terdapat sebanyak 1,82 persen kategori desa tertinggal, sebanyak 86,90 persen kategori berkembang dan hanya sebanyak 11,28 persen kategori desa mandiri.
Kita masih menantikan hasil evaluasi pembangunan desa periode 2014-2018. Pendataannya melalui Potensi Desa (Podes) 2018 sedang berlangsung pada Mei 2018 oleh BPS. Podes 2018 menghasilkan data potensi desa/kelurahan (sosial, ekonomi, sarana, dan prasarana wilayah). Di samping itu digunakan juga untuk identifikasi dan penentuan desa tertinggal serta sebagai bahan penghitungan IPD tahun 2018. Di samping itu, Podes 2018 ini memutakhirkan klasifikasi daerah perkotaan dan daerah perdesaan.
Kita berharap, bisa melihat perubahan positif hasil program membangun dari pinggiran. Peningkatan IPD dan reklasifikasi desa perdesaan menjadi desa perkotaan mengindikasikan keberhasilan pembangunan desa. Keberhasilan pembangunan desa akan memperkecil keran urbanisasi ke kota besar. Dengan demikian, meningkatnya jumlah penduduk di daerah perkotaan di Provinsi Jawa Barat diharapkan sebagai dampak dari pembangunan desa dan bukan sebagai dampak urbanisasi ke kota besar.
Nevi Hendri Kasi Statistik Distribusi Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Cianjur
(mmu/mmu)