Seperti dilansir Reuters, Jumat (4/5/2018), tuduhan menyebar hoax ini menyeret Mahathir di tengah masa kampanye menjelang pelaksanaan pemilu pada 9 Mei mendatang. Mahathir (92) memimpin kelompok oposisi dalam upaya melengserkan Perdana Menteri (PM) Najib Razak dari kursinya. PM Najib merupakan mantan anak didik Mahathir yang pernah menjabat sebagai PM Malaysia terlama, yakni dari tahun 1981-2003.
Para pengkritik menyebut UU Antiberita Palsu sebenarnya bertujuan membatasi kebebasan berbicara dan membungkam pengkritik PM Najib. Terlebih diketahui bahwa PM Najib terjerat skandal korupsi miliaran dolar Amerika pada perusahaan investasi negara, 1Malaysia Development Berhad (1MDB).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pada 9 Mei, kita akan menjatuhkan pemerintahan kleptokratik ini yang dipimpin oleh seseorang bernama Najib Razak," imbuh Mahathir, yang disambut sorakan pendukungnya. Kleptokratik merupakan pemerintahan dengan pemimpin-pemimpin korup yang menggunakan kekuasaan mereka untuk mengeksploitasi rakyat dan sumber daya alam di wilayah mereka, demi memperkaya diri dan mempertahankan kekuasaan politik.
Penyelidikan terhadap Mahathir dilakukan setelah Kepolisian Kuala Lumpur menerima laporan publik, pekan ini. Tidak disebut siapa yang melaporkan. Namun laporan itu menuding Mahathir telah menyebarkan berita palsu atau hoax, terkait klaim bahwa pesawatnya disabotase.
Klaim itu disampaikan Mahathir saat pesawat yang disewanya mengalami kerusakan sebelum lepas landas ke Pulau Langkawi untuk mendaftarkan pencalonannya dalam pemilu. Mahathir mengklaim ada upaya sabotase terhadap pesawat itu. Dia akhirnya terbang ke Pulau Langkawi dengan pesawat lainnya.
Dalam laporannya, Otoritas Penerbangan Sipil Malaysia menyatakan tidak ada indikasi sabotase. Kepala Otoritas Penerbangan Sipil Malaysia bahkan menyatakan, sungguh salah untuk melontarkan klaim 'liar dan palsu' demi keuntungan politik.
Kepala Kepolisian Malaysia, Inspektur Jenderal Mohamad Fuzi Harun, menuturkan kepada wartawan bahwa Mahathir akan dipanggil untuk memberikan keterangan, jika memang diperlukan.
Di bawah UU Antiberita Palsu, para pelanggar terancam hukuman maksimum 6 tahun penjara atau hukuman denda hingga 500 ribu ringgit (Rp 1,7 miliar).
(nvc/bpn)