Cerita Perjuangan Keras Anak Pedalaman di Maros Meraih Cita-cita

Hari Pendidikan Nasional

Cerita Perjuangan Keras Anak Pedalaman di Maros Meraih Cita-cita

M Bakrie - detikNews
Rabu, 02 Mei 2018 15:00 WIB
Potret akses pendidikan di Maros (bakrie/detikcom)
Maros - Di tengah giatnya pemerintah membangun infrastrktur di mana-mana, ratusan pelajar di Kecamatan Tompobulu, Maros, Sulawesi Selatan, harus berjuang mati-matian menuntut ilmu. Bahkan ada yang rela mempertaruhkan nyawa dengan berenang di sungai karena tak ada akses jembatan.

Pelajar ini tersebar di beberapa desa, dari Desa Bonto Matinggi, Bonto Manurung, hingga Bonto Somba. Sejak turun-temurun, wilayah perbatasan antara Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa, Sulsel, ini memang nyaris tak tersentuh oleh pembangunan.


Di Desa Bonto Matinggi, puluhan siswa terpaksa berenang di sungai tiap ke sekolah. Sedangkan di desa lainnya, ada yang bersekolah di kolong rumah bekas kandang ternak. Ada pula yang ruang sekolahnya layak, tapi sekolah terancam tutup karena gurunya yang tidak ada.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sudah lama kami belajar di kolong ini karena tidak ada tempat. Guru kami juga hanya satu-jadi sekolahnya itu tidak menentu, tergantung kalau gurunya datang saja. Kami mau bersekolah di tempat lain, tapi sangat jauh harus jalan 2 jam," kata seorang siswi di Sekolah Kolong Desa Bonto Manurung, Aisyah, beberapa waktu lalu.
Perjuangan Keras Anak Pedalaman di Maros Meraih Cita-Cita

Anak-anak di sana banyak yang terpaksa putus sekolah karena pelbagai alasan, dari soal akses hingga biaya. Banyak dari mereka memutuskan bekerja membantu orang tua di ladang ataupun di sawah. Meskipun, usia mereka selayaknya masih di bangku sekolah.

Belakangan, wilayah ini pun ramai dikunjungi komunitas relawan peduli pendidikan. Mereka tidak hanya datang mengajar, bahkan mereka menggalang donasi untuk membantu perlengkapan sekolah dan membangun ruang belajar yang layak.

Relawan itu tidak hanya berasal dari kalangan mahasiswa, tapi juga banyak yang sudah memiliki pekerjaan. Setiap akhir pekan, mereka datang tanpa pamrih, meski harus berjalan kaki hingga puluhan kilometer. Ironisnya, pemerintah tak pernah hadir memberikan perhatian.

"Banyak yang memilih putus sekolah karena memang kondisi sekolahnya begini. Nah yang tersisa saja kami jaga biar tetap bersekolah. Kami mulai dampingi sekolah kolong ini sejak 6 bulan lalu. Saat ini kami sudah mulai membangun kelas baru yang layak buat mereka," kata seorang relawan, Wahyu.

Saat ini, puluhan anak yang ke sekolah dengan berenang menyeberangi sungai di Dusun Damma, Desa Bonto Matinggi, pun sudah bisa menyeberang dengan aman. Pasalnya, debit air di sungai itu sudah mulai surut hingga mereka tak lagi berenang. Meski begitu, mereka tetap berharap agar jembatan yang mangkrak di sungai itu segera dirampungkan.

"Airnya sudah mulai kecil, jadi mereka tidak berenang lagi. Mereka lewat tanggul air karena sudah surut. Tapi kami tetap berharap agar jembatan itu segera diselesaikan sebelum musim hujan datang lagi," ujar seorang warga, Daeng Bado.

Tak cuma itu, siswa-siswi kelas IV dan III di SDN 130 Inpres Gantarang yang harus berdesak-desakan dalam satu ruang yang dihuni dua kelas berharap mereka juga bisa segera dibuatkan kelas baru agar mereka bisa lebih nyaman belajar. (asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads