Lokasinya berada di Jalan Demak, Tuan Kentang, Kota Palembang. Sekolah ini telah berdiri sejak 2007 dan resmi menerapkan metode pembayaran memakai sampah pada 2013.
Bukan tanpa alasan sekolah ini akhirnya menerima sampah untuk biaya sekolah setelah berdiri selama 6 tahun. Selain dapat mengatasi persoalan biaya sekolah bagi keluarga kurang mampu, metode pembayaran dengan sampah ini ternyata dapat mengubah pola hidup siswanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Di depan halaman sekolah, terlihat ada seorang guru mulai menimbang semua sampah yang dibawa siswa. Sampah ini ditabung dalam bank sampah sekolah dan selanjutnya dihitung setiap akhir bulan untuk dijumlahkan dalam rupiah.
"Setiap hari mereka bawa sampah dari lingkungan sekitar. Apakah rumah, jalan, atau tempat mereka bermain. Sampah langsung dipilah oleh siswa dan di sini akan kami timbang setiap pagi untuk ditabung, setiap akhir bulan ditotalkan dengan nilai rupiah," kata perintis TK Junjung Birru, Syalfitri, saat berbincang dengan detikcom, Rabu (2/5/2018).
Menurut Fitri, dalam sebulan, sampah yang terkumpul dapat mencapai puluhan kilogram. Selanjutnya sampah disulap menjadi kerajinan tangan yang memiliki nilai ekonomis.
Tidak jarang orang tua siswa ikut terlibat dalam pembuatan kerajinan di halaman belakang sekolah berukuran 6x9 meter itu. Mulai dari bunga, bingkai foto, hingga pakaian dari sampah plastik ada dalam gudang milik TK Junjung Birru ini.
Bila sampah yang dibawa siswa sudah dapat menutupi seluruh biaya, dipastikan siswa dapat bersekolah gratis bermodalkan sampah saja. Begitu juga sebaliknya, jika tidak cukup, siswa akan dikenai biaya tambahan.
"Banyak juga siswa yang bawa sampah lebih dari biaya sekolah dan mereka jadi sekolah gratis. Tapi ada pula yang tidak cukup, jadi mereka harus nambah pakai uang tunai. Tergantung berapa kurang biaya dari sampah yang mereka bawa," kata wanita kelahiran 52 tahun silam ini.
Siswa di sekolah ini memang tak banyak. Selaku perintis, Fitri mengaku itu tidak jadi persoalan. Dengan ruangan kelas serta jumlah guru yang terbatas, Fitri ingin sekolah lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas.
"Kami di sini mengutamakan kualitas, jadi bukan kuantitas. Ini terbukti dari catatan siswa yang lulus itu rata-rata masuk 10 besar di sekolahnya. Bahkan mereka itu terlihat lebih percaya diri saat ada event di luar sekolah," kata Fitri.
Sudah ada ratusan siswa yang lulus dari sekolah 'sampah' ini. Fitri pun optimistis 10 atau 15 tahun ke depan siswanya ini akan menjadi pelopor dalam menyelamatkan Kota Palembang dari ancaman bahaya sampah yang tersebar di penjuru kota.
Meskipun awalnya dianggap sebelah mata oleh masyarakat sekitar, kini Fitri bersama pegiat bank sampah lain di daerah Tuan Kentang mulai merasakan manfaatnya. Sampah di lingkungannya mulai dapat diolah, ada pula yang dijual kepada pengepul.
"Saya awalnya ragu, soalnya persoalan sampah ini kan jadi masalah bersama dan biasanya masyarakat dan instansi pemerintahan itu saling tuding. Padahal sampah ini tanggung jawab bersama, semua memilik tugas," katanya. (asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini