"(Saya) sudah mengalami Pemilu sejak tahun 1955, saat itu umur saya 11 tahun, sudah kelas 6 SD. Saya melihat bagaimana waktu itu partai-partai itu kadang-kadang ketika kampanye saling sindir dan maksimum saling ejek, terutama Masyumi dengan PKI waktu itu. Waktu itu ada empat partai besar, PNI, Masyumi, NU, dan PKI."
Hal tersebut disampaikan oleh Amien Rais seusai mengikuti tahapan coklit Pemilu 2019, di kediamannya Jalan Pandean Sari, Condongcatur, Depok, Sleman, Jumat (27/4/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, lanjut Amien, saling sindir dan ejek itu masih terbilang wajar karena tidak berujung aksi fisik.
"Tapi lihat tidak ada cerita waktu itu bentrok fisik, indah sekali, tidak pernah ada 'jotosan'. Itu pengalaman kita sebagai bangsa berdemokrasi," jelas Amien.
Amien kemudian menceritakan pada tahun 1959 terjadi semacam penipisan demokrasi saat masuk Orde Lama dengan sistem Demokrasi Terpimpin.
"Lebih banyak terpimpinnya dari pada demokrasinya, tidak ada oposisi, tidak ada demo, lain-lain. Lalu Orde Baru 32 tahun lebih mengulangi lagi, demokrasi tapi terasa kerjaaan, tidak ada oposisi," ulasnya.
Setelah reformasi 1998, menurut Amien, bangsa Indonesia baru memasuki demokrasi yang sejati.
"Alhamdulillah reformasi, kita menikmati demokrasi tanpa embel-embel, demokrasi titik. Memang ada ekses kadang-kadang, tapi 98 persen saya kira aman, yang dua persen itu kadang-kadang membuat gambaran kurang bagus tapi intinya sudah berdemokrasi," imbuhnya. (mbr/mbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini