PAUD yang didirikannya bersama komunitasnya tersebut diberi nama PAUD Inklusi 'Tersenyum'. Kata Tersenyum mengambil jargon dari Kabupaten Boyolali, yaitu Boyolali Tersenyum. PAUD itu berada di rumahnya di Dukuh Ringinlarik, Desa Ringinlarik, Kecamatan Musuk, Boyolali, Jateng.
Di PAUD tersebut, Titik Isnani menjadi kepalanya. Isnani juga menjadi Ketua Kelompok Sanggar Tunas Harapan yang beranggotakan pada difabel maupun orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) tersebut. Rumahnya menjadi sekretariat sanggar tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menceritakan, lumpuh sejak kecil. Organ dari pinggang kebawah tidak bisa berkembang normal setelah terjatuh dari gendongan waktu berumur 9 bulan yang mengakibatkan tulang belakangnya patah. Sehingga dia mengalami kelumpuhan hingga sekarang. Untuk aktivitasnya, dia menggunakan kursi roda.
"Dari 41 tahun itu, saya merasa hidup baru 21 tahun. Selama 20 tahun itu ibaratnya, hidup dalam kematian," kata Isnani kepada detikcom disela-sela mengajar di PAUD Inklusi 'Tersenyum' Jumat (20/4/2018).
![]() |
Sejak bayi hingga berumur 20 tahun, aktivitasnya hanya di dalam rumah saja. Bahkan, tidak pernah mendapatkan pendidikan formal di sekolah, karena orang tua tidak menyekolahkannya. Isnani bisa baca dan menulis belajar secara otodidak.
"Saya tidak pernah mengalami pendidikan apapun. Hobi saya itu mencuri ilmu, kira-kira ilmu yang saya dapat, yang saya serapya itu yang saya tampung. Setelah saya dewasa ikut training-training," ujar dia.
Isnani mulai belajar baca, menulis maupun menghitung saat mengintip ayahnya yang seorang guru memberi les atau pelajaran tambahan kepada muridnya, dari tempatnya tidur. Dari situlah, dia mengenal baca tulis.
"Sejak kecil tidak ada yang mengajari. Waktu kecil bapak saya memberi les anak-anak di rumah. Saya mendengarkan dan melihat mereka belajar. Saya ikut belajar. Kalau (diajari) secara langsung gitu nggak (pernah)," katanya.
Berjalannya waktu dan bertambahnya usia, Isnani pun ingin bersekolah. Disaat usia 14 tahun, dia mulai "berontak" agar bisa sekolah. Namun ketika keinginan itu diutarakan ke orang tuanya, dia mengaku tidak pernah mendapat jawaban yang pasti.
Hingga suatu saat berumur 20 tahun, dia mendengarkan dari siaran RRI Solo, bahwa ada penerimaan siswa baru di Rehabilitasi Centrum (RC) Surakarta. Dia pun memberanikan diri berkirim surat.
"Dengan tulisan saya yang seperti cekeran, saya nulis surat. Saya titipkan adik saya yang sekolah," imbuh Isnani.
![]() |
Akhirnya, suratnya mendapat balasan dari Rehabilitasi Centrum (RC), bahwa jika ingin mengikuti pelatihan harus melengkapi sejumlah persyaratan. Akhirnya orang tuanya terbuka dan mendaftarkan Isnani ikut pelatihan.
Sembari menunggu masuk pelatihan di RC, dia ikut pelatihan di LBK di Boyolali selama tiga bulan.
"Pertama kali saya keluar rumah ya umur 20 tahun itu, pertama kali menggunakan kursi roda, pertama kali bertemu orang banyak dan bersosiliasi pas ikut kursus di LBK (Loka Bina Karya) itu," ucapnya.
Dari sinilah dia mengawali kehidupan barunya. Ketrampilannya yang didapat, antara lain songket dan menjahit ditularkan kepada penyandang disabilitas lainnya maupun masyarakat umum yang ingin belajar.
(bgs/bgs)