Konflik internal parpol Islam juga mewarnai pentas politik nasional di era Reformasi. Saat itu, pada 1998-1999 muncul banyak sekali parpol Islam, namun pada saat yang sama, konflik internal juga kerap menghiasi. Bahkan konflik internal parpol pada titik klimaks membuat parpol terfragmentasi, dan muncul parpol Islam baru. PPP misalnya, setelah terjadi konflik internal, melahirkan parpol baru, Partai Bintang Reformasi (PBR) pada 2003. Ciri konflik internal pada dekade pertama adalah perpecahan, dan muncul parpol baru.
Lili Romli memetakan hal-hal yang menyebabkan konflik internal. Pertama, konflik terjadi akibat perebutan kekuasaan di dalam parpol. Sebagai contoh, konflik internal muncul pasca pemilihan ketua umum. Biasanya, pihak yang kalah dalam kompetisi pemilihan ketua umum keluar parpol, dan mendirikan parpol baru.
Kedua, konflik internal lahir akibat perbedaan dukungan koalisi pada saat pencalonan presiden dalam pemilihan umum. Contoh yang kedua ini dapat dilihat dari kasus PPP menjelang Pilpres 2014. Saat itu, elite PPP terpecah dalam hal koalisi pencapresan. Kubu Suryadharma Ali mendukung capres Prabowo Subianto, dan kubu Romahurmuziy mendukung capres Joko Widodo. Buntut dari konflik ini adalah dualisme kepengurusan PPP. Kondisi ini tentu jauh dari idealnya sebuah parpol.
Konflik internal akibat wacana ataupun dukungan pencapresan kini melanda Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Parpol tersebut telah menetapkan sembilan kadernya untuk diusung menjadi capres dengan berkoalisi bersama parpol lain karena syarat presidential threshold (ambang batas pencapresan) tak memenuhi. Sembilan nama capres yang dimunculkan PKS adalah Ahmad Heryawan, Hidayat Nur Wahid, Anis Matta, Irwan Prayitno, Sohibul Iman, Salim Segaf Al-Jufrie, Tifatul Sembiring, Al-Muzammil Yusuf, dan Mardani Ali Sera.
Nama-nama yang dimunculkan tersebut mulai menggalang dukungan, baik dari internal parpol maupun masyarakat. Di antara capres yang dimunculkan PKS tersebut, nama Anis Matta cukup menyita perhatian. Pasalnya, mantan Presiden PKS itu cukup masif melakukan sosialisasi melalui pemasangan spanduk bertuliskan "Anis Matta Calon Presiden Indonesia 2019".
Di internal PKS sendiri, nama Anis Matta bukan "pemain" baru. Ia dipandang sebagai anak muda yang cerdas sehingga menjadi magnet bagi kader-kader muda PKS. Ia menjadi idola pada kader muda. Wawasannya luas dan banyak sekali tulisannya sehingga memberi kesan sebagai seorang "intelektual PKS". Dengan bahasa memuji, rekan Anis yang menjabat Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah menyebut Anis sebagai seorang pintar yang mampu menyelamatkan PKS di Pemilu 2014.
Akan tetapi, Anis harus menghadapi sengitnya persaingan internal PKS sendiri. Kesuksesan Anis di PKS seperti dikatakan Fahri tidak membuat ia berada dalam zona nyaman sebagai elite PKS. Sekalipun sukses menjaga suara PKS pada Pemilu 2014, ia "tersingkir" dan tidak lagi dipilih menjadi ketua umum PKS. Bergantinya rezim di PKS dari Anis kepada Sohibul Iman berkonsekuensi pada "dibersihkannya" kelompok Anis.
Wacana "pembersihan" kelompok Anis seperti dikemukakan beberapa pengamat terlihat dari upaya PKS mengganti posisi Fahri Hamzah dari kursi Wakil Ketua DPR, meski Fahri sendiri menolak, dan sampai hari ini tetap menjadi wakil ketua. Selain itu, Fahri juga mencium upaya penyingkiran kelompok Anis di beberapa daerah. DPP PKS, menurut Fahri mengganti ketua pimpinan wilayah yang dianggap "orangnya" Anis secara sepihak tanpa alasan yang jelas. Ini adalah upaya DPP PKS untuk melumpuhkan kekuatan yang telah digalang Anis jauh sebelum munculnya nama-nama capres PKS.
Pernyataan Fahri yang menyebut DPP PKS membersihkan kelompok Anis memancing reaksi dari elite PKS lainnya. Politisi PKS seperti Nasir Jamil menolak jika DPP PKS disebut membersihkan kelompok Anis. Ia menyebut bahwa pencapresan kader harusnya menjadi titik pijak konsolidasi internal PKS jelang pemilu, bukan ajang saling sikut antar-elite
Konflik akibat pencapresan berpotensi akan terus berjalan hingga Pilpres pada 17 April 2019 nanti. Sangat memungkinkan bahwa kebijakan dukungan pencapresan DPP PKS tidak akan dipatuhi oleh kader-kader PKS karena pengaruh elite PKS yang terbelah. Hal ini akan menjadi kisah terulang dari tahun 2004 lalu. Saat itu, PKS terbelah dalam dukungan pencapresan; sebagian mendukung capres Amin Rais, dan yang lain mendukung capres Wiranto. Saat itu bahkan muncul kabar bahwa dukungan pencapresan PKS diwarnai dengan money politics. Hal ini seperti diakui Yusuf Supendi dalam bukunya Replik Pengadilan: Yusuf Supendi Menggugat Elit PKS (Supendi, 2011: xix).
Seharusnya PKS mengantisipasi terjadinya konflik akibat pemunculan capres internal PKS. Dalam beberapa kasus, hal serupa sering terjadi seperti misalnya di Partai Golkar. Pada Pemilu 2004 Golkar mencalonkan Wiranto, dan 2009 Golkar memuculkan capres Yusuf Kalla. Tapi di internal Golkar terjadi konflik, dan mengakibatkan dukungan ke Wiranto dan Jusuf Kalla terpecah. Keduanya akhirnya tidak terpilih di pilpres.
Konflik intra-partai pada hakikatnya sangat sulit dihindari. Konflik adalah dinamika yang selalu ada dalam kehidupan, termasuk kehidupan parpol. Meski demikian, konflik harus dikelola dengan baik agar tidak merugikan organisasi (parpol). Dan, jalan utama penyelesaian adalah dengan musyawarah. Oleh sebab itu, tak ada pilihan lain bagi PKS selain "syura bainahum" untuk menyelesaikan masalah. Konflik internal PKS yang diembuskan di media hanya akan berakibat buruk pada PKS di pemilu. Dan, PKS harus kembali pada spirit bagaimana sebuah partai didirikan, yaitu kesepakatan dan musyawarah.
Ali Thaufan Dwi Saputra peneliti Parameter Politik Indonesia
(mmu/mmu)