Nama Luhut tidak pernah lepas dari sosok Joko Widodo (Jokowi). Dia kerap 'pasang badan' menghadapi persoalan, termasuk isu-isu yang menyerang Jokowi. Dia tak segan melontarkan pernyataan 'pedas'.
Peran Menko Kemaritiman ini makin kentara jelang Pilpres 2019. Dia tampil paling depan setelah Amien Rais menyebut program bagi-bagi sertifikat tanah yang dilakukan Jokowi adalah pembohongan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu dengan nada tinggi dan berapi-api jenderal purnawirawan TNI ini balik menyindir meski tak secara langsung menyebut nama Amien Rais dan menggantinya dengan istilah 'senior'.
"Jangan asal kritik saja. Saya tahu track recordmu kok. Kalau kau merasa paling bersih kau boleh ngomong. Dosamu banyak juga kok, ya sudah diam saja lah. Tapi jangan main-main, kalau main-main kita bisa cari dosamu kok. Emang kau siapa?" ujar Luhut saat pidato di Gedung BPK, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (19/3) lalu.
Luhut saat itu juga merasa gerah dengan tudingan bahwa pemerintah pro pada PKI. Dia menegaskan siapapun boleh mengkritik pemerintah, asal pakai data.
Terbaru yang jadi sorotan adalah pertemuan Luhut dengan Prabowo di Hotel Grand Hyatt, Jakarta Pusat, Jumat (6/4) lalu. Mereka berbincang di restoran Jepang, Sumire. Momen ini cukup unik karena Luhut sudah jelas berada di barisan pendukung Jokowi dua periode, sedangkan Prabowo adalah bakal capres meski hingga kini belum juga mendeklarasikan diri.
Saat diklarifikasi, Luhut membantah pertemuannya dengan Ketua Umum Partai Gerindra itu atas arahan Jokowi.
"Saya tuh dengan Pak Prabowo sering bertemu, kok kalian ribut, itu saja saya ketemu teman masa nggak boleh. Masak ketemu gitu saja mesti utusan Presiden?" ujar Luhut saat itu.
Menariknya, dalam pertemuan itu, Luhut mengaku mendorong Prabowo nyapres di 2019 agar makin banyak calon. Meski demikian kata dia, saat itu Prabowo belum menjawab tegas kapan akan mendeklarasikan diri.
Hal yang juga menarik adalah manuver Luhut membandingkan elektabilitas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi jelang pertarungan menuju periode kedua. Ia menyebut posisi Jokowi lebih kuat dari SBY.
"Elektabilitas Presiden Joko Widodo untuk 2019 kita lihat juga sangat baik. Kalau orang mengatakan perbandingan elektabilitas SBY 2007-2008 dan Jokowi 2017, simulasi 2 kandidat, kadang lembaga survei suka nakal dibikin 3 atau 10 ya nggak ketemu. Kita bikin 2 ya posisinya Presiden Joko Widodo 64 persen, pada waktu yang lalu presiden SBY 50 persen, artinya presiden Joko Widodo leading," kata Luhut di Kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Minggu (8/4/2018).
"Kalau kita ambil sampling, elektabilitas Presiden Joko Widodo sangat tinggi di Jawa Timur, 73,7 persen," sambungnya.
Statemen ini menarik, apalagi beberapa waktu lalu PDIP seolah ingin memisahkan kedekatan Jokowi dan SBY yang makin mesra jelang Pilpres 2019.
Baca juga: Apa Maksud Jenderal Luhut? |
Pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri W Satrio, menanggapi hal ini. Menurutnya, manuver Luhut memang ada kaitannya dengan Pilpres 2019.
"Patut diduga Luhut sedang mengupayakan agar Prabowo mendukung Jokowi jadi di Pilpres 2019 nanti hanya ada satu calon lawan kotak kosong," Hendri kepada wartawan, Senin (9/4/2018).
Kalau tujuannya itu, kenapa usai pertemuan Luhut justru mengungkap dirinya mendukung Prabowo maju ke Pilpres 2019? Menurut Hendri, jawabannya sederhana, bisa jadi Prabowo dianggap lawan termudah buat Jokowi.
"Begitu Prabowo nggak mau ya didukung agar maju saja. Kan lebih baik Prabowo yang maju capres, lebih gampang dibandingkan yang lain," kata Hendri.
Menurut Hendri, banyak sinyal Jokowi tak percaya diri menghadapi Pilpres 2019. Apalagi menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKopi ini elektabilitas Jokowi turun terus.
Lantas apakah sebenarnya tujuan manuver-manuver politik Luhut jelang Pilpres 2019? (hri/rna)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini