Cegah Mafia Perkara di MA, Sidang Harus Benar-benar Terbuka untuk Umum

Cegah Mafia Perkara di MA, Sidang Harus Benar-benar Terbuka untuk Umum

Andi Saputra - detikNews
Selasa, 26 Apr 2016 10:26 WIB
Gedung Mahkamah Agung di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta (ari/detikcom)
Jakarta - Pernahkan Anda melihat ada sidang kasasi atau peninjauan kembali di Mahkamah Agung (MA) yang benar-benar bisa diikuti oleh publik? Jangankan masyarakat, media massa pun tidak tahu kapan sidang perkara dilakukan. Padahal dalam setiap putusan selalu dituliskan bahwa putusan itu diambil dalam sidang terbuka untuk umum.

Komisi Yudisial (KY) melihat tertutupnya proses sidang tersebut memicu permainan perkara di pucuk peradilan Indonesia itu.

"Pada disertasi yang dibuat oleh seorang akademisi Belanda yaitu Sebastian Pompe, diketahui bahwa dahulu sidang pada peradilan Indonesia mengadopsi konsep terbuka untuk umum dari mulai tingkat pertama sampai dengan MA. Namun sejak kepemimpinan Oemar Senoadji sebagai Ketua MA, barulah sidang-sidang pada peradilan Indonesia, khususnya pada tingkat kasasi tidak lagi terbuka untuk umum," kata juru bicara KY Farid Wajdi kepada wartawan, Selasa (26/4/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Hal ini yang sedikit banyak juga turut menyumbang berbagai ketertutupan pada proses peradilan, terutama pada tingkat kasasi. Para pihak hanya diberikan kesempatan untuk memberikan jawab-jawaban melalui memori kasasi/kontra memori kasasi. Padahal esensi dari terbukanya sidang untuk umum adalah guna meminimalisir potensi abuse/penyalahgunaan dalam proses persidangan," beber Farid.

Sidang terbuka yang benar-benar bisa diikuti oleh masyarakat merupakan satu dari empat masukan perbaikan MA. Selain itu, MA juga harus membenahi jeda waktu proses kasasi/PK yang lama dan cenderung tidak seragam antar perkara.
"Masalah utama yang menjadi celah dimungkinkannya beberapa oknum untuk bermain adalah jeda pada alur penanganan perkara kasasi/PK. Dari mulai putusan, minutasi sampai dengan penyampaian ke pengadilan awal. Perbedaan waktu yang cenderung tidak seragam berarti peluang yang besar bagi siapa pun untuk bisa mengklaim dan memberikan pengaruh (terutama kepada para pihak)," papar Farid.

Perbaikan ketiga adalah memecahkan masalah penumpukan perkara. Ini adalah permasalahan klasik yang selalu berulang yaitu ketimpangan antara tumpukan perkara yang ada di MA dengan jumlah sumber daya manusia (SDM) yang tersedia (hakim agung dan asisten hakim agung).

"Hal ini juga punya pengaruh pada lamanya waktu di antara jeda proses. Sebetulnya MA saat ini memiliki aturan soal standar waktu, namun karena load yang terlalu besar tadi, maka seringkali aturan tersebut tidak bisa ditepati," terang Farid.

Langkah terakhir yaitu mengoptimalkan sistem teknologi informasi dalam administrasi perkara. Sekalipun sudah ada case tracking system (CTS), namun sepertinya belum selesai dan optimal.

"Beberapa bukti belum optimalnya ada pada proses minutasi yang sebagian besar review dari teknis ke substansinya masih dilakukan secara manual. Dari satu ruangan hakim kepada ruang hakim lainnya. Padahal jika proses bisa ditransformasi dengan sistem IT maka hal tersebut lagi-lagi berkontribusi pada percepatan waktu minutasi," pungkas Farid.

Saat ini juga tengah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal model sidang di MA yang tertutup. Pemohon meminta sidang di MA, khususnya yang terkait gugatan judicial review peraturan di bawah UU terhadap UU, haruslah dilakukan dalam sidang yang dibuka dan terbuka untuk umum, layaknya sidang di MK. Permohonan ini belum diputus MK. (asp/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads