Suatu ketika Probosutedjo, -sang adik yang hari ini mangkat-, menemani Soeharto menonton televisi. Di layar TV saat itu tengah disiarkan antrean warga yang tengah membeli minyak tanah. Sang penyiar juga menyebut soal tingginya sejumlah harga kebutuhan barang pokok.
Tayangan diselingi perdebatan beberapa pakar soal kepemimpinan Pak Harto dan soal hilangnya naskah asli Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Probosutedjo dalam buku, "Memoar Romantika Probosutedjo, Saya dan Mas Harto", mengisahkan soal hiruk pikut pada 11 Maret 1966 yang menyebabkan hilangnya naskah asli Supersemar.
Menurut Probo, saat Presiden Sukarno membuat Supersemar pada 11 Maret 1966, Soeharto dalam keadaan sakit. Dini hari itu Soeharto terserang sakit tenggorokan akut yang nyaris membuat suaranya hilang. "Suhu tubuhnya naik turun dan dia sering menggigil," kata Probo dalam buku karya Alberthine Endah yang dikutip detikcom, Senin (26/3/2018).
Siang harinya, sekitar pukul 11.00 WIB, tiga jenderal datang ke rumah Soeharto. Mereka adalah: Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M. Jusuf dan Brigjen Amirmachmud. Ketiga jenderal itu bersama Soeharto membahas situasi yang semakin karut marut dan cenderung membawa kesalahpahaman antara Angkatan Darat dengan Bung Karno.
Kepada tiga tamunya, Soeharto mengatakan bahwa dia bersedia mengatasi keadaan jika ada surat perintah resmi dari Bung Karno. Maka setelah itu ketiga jenderal menghadap Bung Karno yang tengah berada di Istana Bogor, lalu terbitlah Supersemar.
Malam harinya ketiga jenderal itu kembali ke rumah Soeharto dan memberikan Supersemar dari Bung Karno. Soeharto menyimak dan mempeljari isi surat tersebut. Berdasarkan Supersemar itulah malam harinya Soeharto membuat Keputusan Presiden tentang pembubaran PKI.
Keesokan harinya pada 12 Maret 1966 pagi-pagi sekali Soeharto merekam suaranya untuk membacakan surat keputusan presiden tersebut. Di saat yang bersamaan di Sekretariat Negara, dilakukan penggandaan Supersemar dengan cara mengetik naskah asli menggunakan bantuan karbon dan mesin stensil. "Tak ada yang memperhatikan naskah asli (Supersemar)," kata Probo.
"Semua terfokus pada isinya yang harus segera diketahui oleh segenap negeri," tambah Probo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Soeharto, kata Probo, tak mengira bahwa keberadaan naskah asli Supersemar akan menjadi hal yang dipertanyakan dan diperdebatkan dikemudian hari. Dia membantah bahwa Soeharto merekayasa Supersemar.
Probo beralasan bahwa saat Supersemar dibacakan, posisi Presiden Sukarno masih kuat. "Tidak mungkin mas Harto gegabah menafsirkan Supersemar karena risikonya dia bisa dikecam Bung Karno dan dipenjarakan," kata dia. (erd/jat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini