Probosutedjo dan Kisah Sesajen di Rumah Pak Harto Pasca-G30S

Probosutedjo dan Kisah Sesajen di Rumah Pak Harto Pasca-G30S

Erwin Dariyanto - detikNews
Senin, 26 Mar 2018 12:23 WIB
Foto: Foto Repro Buku
Jakarta - Jumat, 1 Oktober 1965, dini hari, dua orang mengetuk pintu rumah Panglima Kostrad Mayjen Soeharto di Jalan Agus Salim, Menteng. Keduanya datang untuk melaporkan bunyi rentetan tembakan di kediaman Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal AH Nasution.

Menerima laporan tersebut, Soeharto, yang baru tidur tak lebih dari satu jam, bergegas bangun. Mengenakan seragam Kostrad, dia langsung menuju Markas Kostrad di kawasan Gambir. "Tak biasanya Mas Harto berangkat ke kantor sepagi itu," kenang Probosutedjo dalam buku 'Saya dan Mas Harto' karya Alberthiene Endah, seperti dikutip detikcom, Senin (26/3/2018).

Pada Jumat dini hari itulah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal dan satu perwira menengah TNI Angkatan Darat. Jenazah ketujuh Pahlawan Revolusi itu baru ditemukan tiga hari kemudian di sebuah sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai G30S itu kemudian menorehkan sejarah panjang bagi perjalanan republik ini.

Presiden Sukarno mengakhiri kekuasaannya dan kemudian digantikan Jenderal Soeharto. Setelah Soeharto akhirnya berkuasa selama 32 tahun dan baru turun pada 1998, muncul berbagai spekulasi atas peristiwa G30S. Ada yang menuding Soeharto tahu peristiwa tersebut dan bahkan berada di belakang tragedi berdarah itu.

Probosutedjo sebagai adik yang tinggal serumah dengan Soeharto mengaku memiliki kisah tersendiri atas G30S. "Ini catatan perasaan yang muncul karena saya melihat langsung, mendengar, dan menyerap apa yang dikatakan dan dikeluhkan Mas Harto tentang peristiwa itu," cerita Probo.

Menurut dia, Soeharto memiliki pengalaman dengan gerakan PKI sejak 1948. Saat itu Soeharto ikut menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Jadi, begitu PKI aktif kembali pada 1965 dan berusaha merapat ke Presiden Sukarno, Soeharto justru menjaga jarak.

Dia juga menjaga jarak dengan prajurit TNI, yang ketika itu diduga kuat memiliki hubungan dekat dengan PKI, seperti Kolonel Latief dan Letkol Untung bin Syamsuri. Sampai meletus G30S, Latief dan Untung selalu berusaha merapat ke Soeharto.

Namun, kata Probo, Soeharto selalu berusaha menjauhi mereka. Tercatat dua kali Latief menemui Soeharto sebelum G30S meletus, yakni pada 26 September dan 30 September malam. Pada Minggu, 26 September 1965, Latief menemui Soeharto di kediamannya.

Latief mencari tahu soal isu Dewan Jenderal. Padahal Soeharto menganggap isu tersebut tidak ada dan tak penting dibahas. Bagi Soeharto, isu yang lebih penting dibahas adalah soal ekonomi masyarakat yang kian sulit.

"Dalam beberapa kesempatan, Mas Harto mengatakan, kenapa orang-orang mempertanyakan hal yang tidak penting dibahas," kata Probo.

Pada Kamis malam, 30 September 1965, Latief berusaha menemui Soeharto, yang tengah menunggui Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) yang dirawat di RSPAD lantaran tersiram air panas. Menurut Probo, saat itu Latief tengah memata-matai Soeharto.

Soeharto baru meninggalkan RSPAD sekitar pukul 04.00, Jumat dini hari. Di saat hampir bersamaan, enam jenderal dan satu perwira menengah diculik dan dibunuh di Lubang Buaya.

Baru satu jam memejamkan mata, Soeharto dibangunkan dan mendapat laporan adanya aksi penculikan tersebut. Dia pun bergegas mengenakan seragam dan berangkat ke kantor. Lima hari dia tak pulang ke rumah.

Siti Hartinah (Tien Soeharto) khawatir terhadap keselamatan suaminya. Kepada Probo, Tien meminta dibuatkan sesajen. "Di tengah situasi tidak menentu itu, sempat terjadi sesuatu yang menggelikan. Mbakyu Harto adalah seorang muslimah yang menganut pula paham kejawen," kata Probo.

Hari itu, 2 Oktober 1965, Tien meminta dibuatkan sesajen. Ada beberapa syarat sesajen yang disiapkan seperti: kue-kue tradisional, kopi, teh, buah-buahan, dan bunga. Setelah semua prasyarat itu terpenuhi, Tien menghampiri Probo.

"Dik Probo, tolong carikan saya nasi kebuli. Saya perlu untuk sesajen. Saya was-was terus dengan kondisi Mas Harto," kata Probo menirukan ucapan Tien.

Sehari setelah sesajen dibuat dan doa dipanjatkan, keluarga mendapat kabar bahwa Pak Harto ada di Kostrad, mengendalikan situasi Jakarta pasca-G30S. "Mendengar itu, kami pun menjadi tenang," kata Probo.

[Gambas:Video 20detik]

(erd/jat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads